Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Kerajaan Pajang (1546-1582 M)

Raja pertama Kerajaan Pajang adalah Hadiwijaya. Ia berhak memakai gelar sultan (Sultan Hadiwijaya), setelah kedudukannya sebagai Raja Pajang disahkan oleh Sunan Giri. Sultan Hadiwijaya memerintah tahun 1568-1582 M. Ia segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adipati-adipati yang memberi pengakuan itu antara lain dari Pati, Pemalang, Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedu Selatan), Purbaya (Madiun), Tuban, Blitar, Kediri, dan Demak yang waktu itu sudah diserahkan kepada Arya Panggiri (anak Sunan Prawoto).  Tokoh-tokoh yang berjasa dalam usaha penumpasan kekuatan Arya Penangsang diberikan hadiah sesuai janji yang telah ia sampaikan. Misalnya, Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan) diberi imbalan tanah daerah Mataram (sekitar Kota Gede dekat Yogyakarta sekarang) dan Hutan Mentaok. Oleh karena itu, Ki Ageng Pemanahan juga terkenal dengan nama Ki Gede Mataram. Ia diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Ki Penjawi yang juga sangat berjasa dalam

Kerajaan Ternate (1257-1272 M)

Islam mulai berkembang dan berpengaruh di Maluku sekitar abad ke 15. Islam mula-mula masuk ke Kepulauan Maluku di pelabuhan Hitu, Ambon. Penyebaran Islam ke Maluku dilakukan oleh para pedagang dan mubalig dari Jawa. Waktu itu para pedagang Islam dari Demak, dan Gresik, bahkan dari Malaka sudah banyak yang berdagang di Maluku. Di antara mereka ada juga yang tinggal di daerah tersebut. Hal ini semakin memperlancar proses islamisasi di Maluku. Mubalig dari Jawa Timur yang ikut aktif menyebarkan agama Islam di Maluku adalah Maulana Husain. Dakwah Islam yang diperjuangkan Maulana Husain kemudian dilanjutkan para putra daerah yang telah selesai belajar agama Islam kepada Sunan Giri di Gresik Jawa Timur.  Adanya kegiatan dakwah Islam ke kawasan Maluku disambut baik oleh masyarakat, baik kalangan atas maupun umum, bahkan di antara mereka yang masuk Islam, antara lain Raja Ternate pertama yaitu Raja Gappi Baguna, yang kemudian disebut sebagai Sultan Marhum (1465-1486 M). Setelah wafat, beliau d

Kerajaan Makasar (1592-1669 M)

Pembawa agama Islam ke Sulawesi Selatan yang terkenal adalah Dato' ri Bandang dan Sulaiman. Pada tahun 1605 M, keduanya berhasil mengislamkan para pejabat tinggi kerajaan. Kraeng Matoaya yang menjadi Raja Gowa, diangkat sebagai Raja Makasar dan setelah masuk Islam bergelar Sultan Alaudin. Ia memerintah pada tahun 1593-1639 M. Sedangkan Raja Tallo diangkat sebagai mangkubumi dengan gelar Sultan Abdullah. Kerajaan Makasar mencapai puncak kejayaan pada abad ke-17, yaitu di bawah kekuasaan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), yang memerintah pada tahun 1639 -1653 M. Dalam masa pemerintahannya, Makasar berkembang menjadi kerajaan maritim yang besar. Kekuasaannya hampir meliputi seluruh kawasan timur Nusantara. Pada masa itu, agama Islam celah menjadi agama resmi kerajaan. Dengan demikian hubungan antara ekspansi politik dengan islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika yang berlangsung di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politi

Kerajaan Banten (1552-1801 M)

Pada mulanya Banten adalah merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu. Pada tahun 1526 M, Fatahillah bersama Pangeran Carbon membantu Pangeran Hasanuddin (putra Sunan Gunung Jati), membebaskan Banten dari kekuasaan Pajajaran. Banten akhirnya dapat direbut. Kemudian Hasanuddin diangkat sebagai penguasa di Banten. Beliau memerintah sekitar tahun 1552-1570 M. Pada masa pemerintahan Hasanuddin, Kerajaan Banten terus dikembangkan. Perluasan daerah ke pedalaman terus dilakukan. Perluasan wilayah juga dilakukan ke luar Jawa. Seperti Lampung, Indrapura, Selebar, dan Bengkulu. Dengan demikian daerah kekuasaan Hasanuddin semakin luas. Pada tahun 1570 M Hasanuddin wafat. Beliau digantikan oleh putranya bernama Pangeran Yusuf, yang berkuasa di Banten tahun 1570-1580 M.  Mengikuti jejak ayahnya, Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran. Tahun 1580 M, Pangeran Yusuf wafat, dan digantikan oleh putranya, Maulana Muhammad (1585-159

Kerajaan Cirebon (1526-1679)

Pendiri kerajaan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam penyebaran Islam ke kawasan Jawa Barat, Syarif Hidayatullah berjumpa dengan Pangeran Cakrabuwana, penguasa di Cirebon. Pangeran Cakrabuwana adalah keturunan dari Pajajaran (Hindu), tetapi ia sudah memeluk agama Islam. Pangeran Cakrabuwana berkedudukan di istana Pakungwati di Cirebon. Pemerintahan di Pakungwati kemudian diserahkan oleh Pangeran Cakrabuwana kepada Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah berhasil mengembangkan Cirebon sebagai kerajaan Islam dan melepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran.  Selama Syarif Hidayatullah memimpin, Cirebon mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1526 M, Cirebon dengan dukungan tentara Demak, di bawah pimpinan Fatahillah, berhasil membebaskan Banten dari kekuasaan Pajajaran. Sebagai penguasa di Banten kemudian diangkatlah putra Syarif Hidayatullah yang bernama Hasanuddin. Sultan inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Banten. Pada tahun 1527 M, Fatahillah atas duk

Kerajaan Mataram (1586-1755)

1. Sutawijaya (1586-1601 M)  Raja pertama Mataram adalah Sutawijaya. Ia anak Ki Ageng Pemanahan dan anak angkat Sultan Hadiwijaya. Setelah menduduki jabatan sebagai Sultan di Mataram Islam, ia bergelar Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan Mataram awalnya ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Masa Pemerintahan Panembahan Senapati ditandai dengan perang yang terus-menerus. Perang ini terjadi karena para bupati tidak mau memberikan pengakuan terhadap kekuasaan Senapati. Untuk menundukkan para bupati yang membangkang dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, terpaksa ditundukkan dengan peperangan. Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan, Surabaya, dan Demak berhasil ditaklukkan. Cirebon dan Galuh berhasil ditaklukkan pada tahun 1595 M. sebelum usaha Panembahan Senapati untuk memperluas dan memperkuat Kerajaan Mataram selesai dengan memuaskan, beliau wafat pada tahun 1601 M. Beliau dimakamkan di Kota Gede.  2. Mas Jolang (1601-

Kerajaan Demak (1500-1546 M)

 1. Pemerintahan Raden Patah (1500-1518 M)  Sultan pertama kerajaan Demak adalah Raden Patah. Ia bergelar Sultan Akbar al-Fatah. Raden Patah adalah putra Raja Kertabumi (Brawijaya V) dari Majapahit dengan putri Cina. Pada waktu itu Raden Patah sebagai Bupati Demak, yang secara resmi masih di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Demak menjadi kuat dan ketika Majapahit dipegang oleh Girindrawarna, pada tahun 1500 M, Raden Patah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Dengan dibantu oleh wali, Raden Patah kemudian memproklamasikan berdirinya Kerajaan Islam yang terkenal dengan sebutan Kesultanan Demak. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan Demak kemudian berkembang menjadi kerajaan besar.  Dipimpin oleh Raden Patah, dan dibantu oleh para wali, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam yang sangat penting. Pada tahun 1511 M, Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kejatuhan Malaka menjadikan Demak menjadi semakin penting peranannya sebagai pusat penyeba

Kerajaan Aceh (1514-1676 M)

Pendiri kerajaan Aceh adalah Raja Ibrahim, bergelar Sultan Ali Mughayat Syah. Ia memerintah pada tahun 1514-1530 M. Pada mulanya Aceh dikuasai oleh Kerajaan Lamuri. Kerajaan Lamuri termasuk kerajaan tua di ujung barat Pulau Sumatera. Pusat kerajaannya terletak di lam Reh, kawasan Aceh Besar sekarang. Penulis China, Zhao Rugua pada tahun 1225 menyebutkan, kerajaan Lamuri setiap tahun mengirim upeti ke kerajaan San-fo-chi (Sriwijaya). Bukti lain kerajaan ini sudah tua terdapat di Lam Reh, yaitu ditemukannya makam Sultan Sulaiman bin Abdullah yang wafat pada tahun 1211 M. Setelah merebut Lamuri, kerajaan Aceh menundukkan sekaligus menyatukan kerajaan sekitar seperti Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur. Pada tahun 1524, kerajaan Samudera Pasai berhasil direbut Aceh. Pada tahun yang sama, Portugis berusaha merebut Aceh, namun dapat diusir Aceh dengan mudah, sehingga mereka kembali ke markas Portugis di Malaka.  Ketika Malaka di bawah kekuasaan Portugis, banyak pedagang Islam dari Malaka yang pind

Kerajaan Samudera Pasai (1285-1524 M)

Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M kerajaan ini muncul sebagai kerajaan Islam. Bukti berdirinya kerajaan ini adalah terdapat nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan tersebut dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Pendiri kerajaan ini adalah Malik al-Saleh. Hal tersebut diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, seperti Snouck Hugronje, J .P. Molquette, J.L Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J Cawan dan lain-lain.  Karena ketidakstabilan pemerintahan Perlak akibat adanya persaingan antar anggota keluarga kerajaan, para pedagang banyak yang mengarahkan kegiatannya ke tempat lain, yakni ke Pasai. Akibatnya, Perlak menjadi mundur. Pada waktu itu tampil seorang penguasa lokal di daerah Samu

Kerajaan Perlak (840-1292 M)

Hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1963, telah menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak. Kesimpulan seminar tersebut kemudian dikukuhkan dalam Seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978. Kesimpulan ini kemudian dikukuhkan lagi dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Banda Aceh.  Sumber-sumber dan bukti sejarah yang dapat digunakan berkaitan dengan keberadaan kerajaan Perlak paling tidak ada dua, yakni pertama naskah-naskah tua berbahasa Melayu dan kedua ditemukannya bukti-bukti arkeologis peninggalan sejarah. Naskah-naskah tua yang dijadikan sebagai rujukan mengenai keberadaan Kerjaan Perlak paling tidak ada tiga yakni;  Idharatul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi, karya Abu Ishak Makarani Al-Fasy;  Kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sultan as Salathin, karangan Syekh Syamsul Bahri Abdullah As-Asyi;  Silsilah Raja-Raja Perlak dan Pasai, catatan Sayid Abdullah Ibn Sayid Habib Saifuddin.  Ketiga na

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Gunung Jati (w. 1568 M)

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran Raden Manah Rasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah belajar agama sejak berumur 14 tahun dari ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai Negara. Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, di Mekah Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajmuddin Al-Kubri selama dua tahun, dan pada Syekh Ataulahi Sadzali yang ber-mazhab Syafi'i selama dua tahun. Selain Mekah, ia juga belajar di Baghdad untuk mondok dan belajar ilmu Tasawuf. Setelah Baghdad, Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan hingga sampai di Gujarat.  Beberapa saat di Gujarat kemudian Syarif Hidayatullah singgah di Pasai dan sebelum sampai di Cirebon, Syarif Hidayatullah singgah di Banten yang sebagian besar masyarakatnya telah memeluk Islam. Sun

Sunan Muria (w. 1551 M)

Sunan Muria adalah putra Dewi Saroh dari hasil perkawinannya dengan Sunan Kalijaga. Dewi saroh adalah adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, yang berjarak sekitar 18 kilometer ke utara kota Kudus.  Sunan Muria mencerminkan seorang sufi zuhud, karena ia tidak silau akan gemerlap dunia. Tugasnya sehari-hari mengasuh dan mendidik para santri yang hendak menyelami ilmu tasawuf, didampingi oleh putranya Raden Santri. Seperti halnya sufi lainnya, Sunan Muria mencerminkan pribadi yang sangat mencintai Allah Ta'ala. Sepanjang hidupnya hanyalah untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Cahaya pandangan batin beliau senantiasa jauh menembus ke alam yang tidak terjangkau oleh akal pikiran atau logika.  Selain itu, beliau memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun Gunung Muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus

Sunan Kudus (w. 1550 M)

Sunan Kudus nama kecilnya adalah Ja'far Sodiq. Beliau lahir pada pertengahan abad ke-15 M di Demak Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung di Jipang Panolan Blora Jawa Tengah. Ibunya bernama Syarifah (cucu Sunan Ampel). Dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan syahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang, kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak da

Sunan Kalijaga (w. 1586 M)

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Sunan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu ia berusia 20-an tahun. Sunan Ampel yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, ia berusia 50-an tahun. Tetapi ada juga yang mengatakan ia lahir tahun 1450 dan 1455. ayahnya bernama Tumenggung Wilotikto (Adipati Tuhan), dan ibunya bernama Dewi Retno Dumilah. Tumenggung Wilotikto adalah keturunan Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti nama menjadi Raden Sahur. Di antara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai Seorang wali yang berjiwa besar. Seorang pemimpin, pejuang, mubalig, pujangga, dan filosof. Daerah operasinya tidak terbatas, oleh karenanya ia adalah mubalig keliling. Ketika beliau berdakwah, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana. Raden Said sebenarnya adalah seorang anak muda yang taat kepada agama dan bakti kepada orang tua. Namun beliau tidak bisa menerima keadaan disekelilin

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan

Sunan Drajat (w. 1522 M)

Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Sumber yang lain mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi Candrawati. Diperkirakan Sunan Drajat lahir pada tahun 1470 M. Raden Qasim menghabiskan waktu kecilnya di pesantren Ampel Denta, milik ayahnya, Sunan Ampel. Setelah dewasa, Sunan Ampel memberinya tugas untuk berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan Tuban. Perjalanan menuju pesisir Gresik Tuban, Raden Qasim berhasil mendarat di Kampung Jelak Banjarwati Lamongan pada tahun 485 M. Di Kampung Jelak, beliau disambut baik oleh tetua setempat bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Konon kedua tokoh kampung tersebut telah diislamkan oleh pendakwah dari Surabaya yang terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Kemudian Raden Qasim menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, puteri Mbah Mayang Madu.  Di Jelak, beliau mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Dalam wa

Sunan Bonang (w. 1525 M)

Sunan Bonang adalah anak dari sunan Ampel, yang berarti juga cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Nama kecil Sunan Bonang adalah Raden Makdum Ibrahim.  Diperkirakan lahir pada tahun 1465 M. Semasa kecil Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, di pesantren Ampel Denta, dengan disipliIn yang ketat. Setelah dewasa, beliau berdakwah keliling daerah pelosok Jawa. Mula-mula berdakwah di Kediri, yang mayoritas penduduknya adalah beragama Hindu, Di Kediri, beliau mendirikan masjid Sangkal Daha. Setelah itu, beliau menetap di Desa Bonang, Lasem, Jawa Tengah. Di tempat tersebut, Sunan Bonang mendirikan pesantren yang dikenal sebagai Watu Layar. Selain itu, Sunan Bonang juga dikenal sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meski demikian, beliau tidak pernah meninggalkan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sulit dijangkau. Beberapa daerah yang pern

Sunan Ampel (w. 1491 M)

 Sunan Ampel adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Menurut Babad Tanah Jawi, di masa kecilnya Sunan Ampel dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama adiknya Sayid Ali Murtadho. Sebelum sampai di Jawa, beliau singgah dulu di Palembang pada tahun 1440 M. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia berlabuh ke Gresik. Setelah itu meneruskan perjalanan ke Majapahit untuk menemui bibinya seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bernama Prabu Sri Kertawijaya. Setelah menetap di Jawa, Sunan Ampel kemudian menikah dengan putri adipati Tuban. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai beberapa putra putri, antara lain Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Ampel Denta merupakan daerah rawa yang dihadiahkan raja Majapahit kepadanya. Di tempa

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Wali Songo dan Islamisasi

Proses islamisasi di Indonesia tak lepas dari peran walisongo, khususnya di Jawa. Penyebaran agama Islam di Jawa tersebut terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul kemudian dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan tingkat penganut agama Islam di tingkat atas terdapat sekelompok pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal sebagai zaman kewalen. Para wali tersebut dalam tradisi Jawa dikenal sebagai "Wali Songo" , yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindu yang jumlahnya Juga sembilan orang.  Wali Songo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat wali, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali. Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hub