Langsung ke konten utama

Kerajaan Mataram (1586-1755)

1. Sutawijaya (1586-1601 M) 

Raja pertama Mataram adalah Sutawijaya. Ia anak Ki Ageng Pemanahan dan anak angkat Sultan Hadiwijaya. Setelah menduduki jabatan sebagai Sultan di Mataram Islam, ia bergelar Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan Mataram awalnya ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Masa Pemerintahan Panembahan Senapati ditandai dengan perang yang terus-menerus. Perang ini terjadi karena para bupati tidak mau memberikan pengakuan terhadap kekuasaan Senapati. Untuk menundukkan para bupati yang membangkang dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, terpaksa ditundukkan dengan peperangan. Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan, Surabaya, dan Demak berhasil ditaklukkan. Cirebon dan Galuh berhasil ditaklukkan pada tahun 1595 M. sebelum usaha Panembahan Senapati untuk memperluas dan memperkuat Kerajaan Mataram selesai dengan memuaskan, beliau wafat pada tahun 1601 M. Beliau dimakamkan di Kota Gede. 

2. Mas Jolang (1601-1613 M) 

Dengan wafatnya Panembahan Senapati, putranya yang bernama Mas Jolang naik tahta. Ia bergelar Sultan Anyakrawati. Ia memerintah pada tahun 1601-1613 M. Pada masa pemerintahannya banyak bupati dari Jawa Timur yang berusaha memberontak dan melepaskan diri. Pemberontakan itu antara lain terjadi di Demak, Ponorogo, dan Surabaya. Mas Jolang-dengan susah payah harus menghadapi semua pemberontakan itu. Sebelum dapat memadamkan pemberontakan secara tuntas, Mas Jolang meninggal dunia pada tahun 1613 M. Karena meninggalnya di Krapyak, Mas Jolang dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak.

3. Sultan Agung (1613-1645 M) 

Mas Jolang digantikan oleh putranya yang bernama Mas Rangsang. Ia lebih terkenal dengan nama Sultan Agung. Ia dilahirkan pada tahun 1591. Pusat pemerintahan Sultan Agung mula-mula di Kerta, kemudian pindah ke Pleret. Setelah tampil sebagai Raja Mataram, Sultan Agung harus menghadapi musuh lama Mataram, yaitu Surabaya. Surabaya memiliki pertahanan yang kuat, yaitu benteng pertahanan dari tembok yang sangat kokoh dan lokasinya dikelilingi oleh rawa-rawa. Hal ini mempersulit Mataram yang ingin nyerang Surabaya.


Surabaya sulit dikalahkan Mataram karena Surabaya dibantu oleh Kediri, Tuban, dan Pasuruan. Bahkan pada tahun 1614 M, gabungan pasukan dari empat Wilayah tersebut berani melancarkan serangan terhadap Mataram. Berkat kegesitan dan keberanian pasukan Mataram, pada tahun 1615 M, tentara gabungan dari Surabaya dapat dipukul mundur dan dikalahkan di daerah Wirasaba (Majakerta). Sesudah Wirasaba jatuh, disusul Lasem, Pasuruan (1617), dan Tuban (1620). Tahun 1622 Sultan Agung menundukkan Sukadana yang menjadi sekutu Surabaya. Tahun 1624 serangan Mataram mengarah ke Madura. Madura pun akhirnya tunduk. 

Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645 M. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para ulama pendukung Pangeran Alit banyak yang disingkirkan, bahkan dibunuh (1647 M).

Peperangan-peperangan seperti itu pada akhirnya menyebabkan kerajaan Mataram semakin mundur. Para bupati pesisir juga mulai melepaskan diri. Keadaan tersebut mendorong Amangkurat I untuk bersekutu dengan VOC. Persekutuannya dengan pihak VOC semakin menguatkan sikap antipati dari berbagai pihak terhadap kekuasaan Amangkurat I. Terjadilah beberapa perlawanan terhadap kekuasaan Amangkurat I. Perlawanan dan kekacauan di Mataram semakin melemahkan Mataram namun semakin memperkuat kedudukan VOC. Atas jasanya membantu Amangkurat I menghadapi berbagai perlawanan dari berbagai pihak, VOC mendapat hadiah Wilayah kekuasaan. Kerajaan Mataram yang besar dan terkenal akhirnya dibagi dua. Berdasarkan Perjanjian Gianti (1755), Kerajaan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan