Langsung ke konten utama

Sunan Kudus (w. 1550 M)

Sunan Kudus nama kecilnya adalah Ja'far Sodiq. Beliau lahir pada pertengahan abad ke-15 M di Demak Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung di Jipang Panolan Blora Jawa Tengah. Ibunya bernama Syarifah (cucu Sunan Ampel). Dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan syahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang, kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak. 

Tidak ada bukti tahun berapa Sunan Kudus tiba pertama kali di Kudus. Waktu beliau menginjakkan kakinya di Kudus, daerah ini bernama Tajug. Kyai Telingsing adalah orang yang mula-mula mengembangkan kota Tajug. Nama asli Kyai Telingsing adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan. Di Jawa, Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara Sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah. Banyak yang datang berguru seni kepada Kyai Telingsing, termasuk Ja'far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Raden Ja'far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja'far Sodiq di masa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha. Raden Ja'far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun. 

Dalam hal strategi dakwah, Sunan Kudus termasuk pendukung Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah menghargai adat-istiadat lama, sambil memperbaiki secara pelan-pelan, untuk kemudian diislamkan. Masyarakat Kudus waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, dengan jumlah yang tidak sedikit. Di tengah masyarakat seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang menyebarkan agama Islam.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja'far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari India, dibawa para pedagang asing. Kemudian sapi tersebut ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang mayoritas masih beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam waktu singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat. 

Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya dan berkata, “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.” Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja'far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi. Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan kudus melanjutkan, salah satu di antara surah-surah Al-Qur'an yaitu surah yang kedua dinamakan “Surah Sapi” atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus. Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur'an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka sering datang mendengarkan ceramah Sunan Kudus. 

Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu, orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut atau Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan