Langsung ke konten utama

Sunan Drajat (w. 1522 M)

Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Sumber yang lain mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi Candrawati. Diperkirakan Sunan Drajat lahir pada tahun 1470 M. Raden Qasim menghabiskan waktu kecilnya di pesantren Ampel Denta, milik ayahnya, Sunan Ampel. Setelah dewasa, Sunan Ampel memberinya tugas untuk berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan Tuban. Perjalanan menuju pesisir Gresik Tuban, Raden Qasim berhasil mendarat di Kampung Jelak Banjarwati Lamongan pada tahun 485 M. Di Kampung Jelak, beliau disambut baik oleh tetua setempat bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Konon kedua tokoh kampung tersebut telah diislamkan oleh pendakwah dari Surabaya yang terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Kemudian Raden Qasim menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, puteri Mbah Mayang Madu. 

Di Jelak, beliau mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Dalam waktu yang singkat telah banyak orang yang berguru kepadanya. Setahun kemudian, Raden Qasim pindah ke daerah sebelah selatan yang lebih tinggi, tempat tersebut dinamakan Desa Drajat. Di desa ini, Raden Qasim mendirikan mushalla atau surau dan dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun tinggal di daerah tersebut, beliau berpindah lagi ke tempat yang lebih tinggi, satu bukit. Di tempat baru tersebut, beliau berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang, kemudian memberikan ceramah agama kepada mereka. Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522 M, dan dimakamkan di desa Drajat, kecamatan Paciran, Lamongan Jawa Timur. Di tempat tersebut dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong. 

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah biI-hikmah, cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, beliau menggunakan berbagai macam cara antara lain; lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Beliau juga menyiarkan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan. 

Sunan Drajat juga sangat memperhatikan penduduk. Beliau sering berjalan pada malam hari melihat situasi perkampungan. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari segala macam gangguan. Setelah salat ashar, Sunan Drajat berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk agar melaksanakan salat magrib. “Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Beliau selalu membesuk warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional dan doa. 

Bekas padepokan Sunan Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra. Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan