Berbeda dengan sejarah masuknya Islam ke beberapa negara lain, masuknya Islam ke Nusantara melalui jalan damai, dan hal ini tidak dipungkiri oleh pihak manapun. Penyebaran agama Islam ke wilayah ini melalui tahapan-tahapan panjang, sehingga menjadikan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
1. Kehadiran Para Pedagang Muslim (7-12 M)
Tahap ini merupakan periode permulaan kedatangan para pedagang, dan sosialisasi Islam di kawasan Asia Tenggara, khususnya Nusantara, yang dimulai dengan kontak sosial budaya antara para pendatang muslim dengan penduduk setempat. Pada tahapan ini, seperti yang telah dikemukakan, bahwa diduga para pedagang muslim sudah mulai berdagang mulai abad ke-7 M. Dalam fase perdagangan ini, para saudagar muslim juga melakukan dakwah Islam dengan cara damai, sehingga memudahkan mereka untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam pada masyarakat lokal.
2. Terbentuknya Kerajaan-kerajaan Islarn (13-16 M)
Setelah komunitas Islam merasa kuat dan mapan, mereka mulai membentuk pemerintahan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadan 696 H/1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada akhir abad ke-13 kerajaan Samudera Pasai merebut jalur perdagangan di Selat Malaka yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Hal ini terus berlanjut hingga pada permulaan abad ke-14 berdiri kerajaan Malaka di Semenanjung Malaysia. Sultan Mansyur Syah (w. 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat Islam sangat berkembang di Pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka.
Di bagian lain, di Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan kelompok masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Kehadiran makam-makam kuno di Troloyo dekat Trowulan, dengan angka tahun tertua yang tertulis adalah 1290 caka 1368-1369 M telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat muslim di dekat pusat kerajaan Majapahit. Dan sejak akhir abad ke-15 pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon dan Banten telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan itu mulai tampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa berhasil merebut ibukota Majapahit. Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan perkembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, khususnya oleh para mubaligh (dai) di Gresik dan Demak. Mereka bahkan berhasil meluaskan pengaruh Islam ke beberapa daerah di luar Jawa seperti Lombok, Banjarmasin, Ternate, Tidore, dan seterusnya.
3. Pelembagaan Islam
Pada tahap ini, sosialisasi Islam semakin meluas dan masuk ke pusat-pusat kekuasaan, menembus sampai hampir ke seluruh Wilayah Nusantara. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para penyebar dan pengajar Islam, khususnya wali songo, para raja di Nusantara, serta para elit pedagang lainnya. Mereka menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak diantara mereka melakukan perkawinan dengan penduduk lokal. Dengan kata lain, Islam dikukuhkan di pusat-pusat kekuasaan di Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, di samping dengan sosialisasi langsung pada masyarakat bawah.
Pengaruh islamisasi yang pada awalnya hanya berpusat di Pasai di Sumatera dan Jawa, kini telah jauh meluas ke Aceh di Pesisir Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, lombok, dan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam di semenanjung Malaka, terutama batu nisannya, yang menyerupai bentuk-bentuk batu nisan di Aceh. Di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudera) yang terletak di Kuwin, Banjarmasin, terdapat batu nisan yang mempunyai tipologi sama dengan bentuk nisan di Demak dan Gresik. Begitu pula di komplek pemakaman kuno Seloparang -menurut tradisi setempat diislamkan Sunan Prapen dari Giri ditemukan sebuah batu nisan yang memiliki gaya Jawa Timur.
Untuk daerah Sulawesi, Kerajaan Gowa-Tallo dibawah pemerintahan Raja Gowa-Tallo XIV, Karaeng Matoaya, atau lebih dikenal dengan Sultan Alauddin, yang memerintah pada tahun 1593-1639, dan kemudian digantikan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), mencapai zaman keemasannya. Kekuasaanya hampir meliputi seluruh kawasa timur Nusantara. Pada masa itu, agama Islam telah menjadi agama resmi kerajaan. Oleh sebab itu, hubungan antara ekspansi politik dengan islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad XVII.
Peranan Makasar sebagai pusat perdagangan dan bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makasar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa. Sejalan dengan itu, abad ke-17 merupakan saat di mana Kerajaan-kerajaan Islam di pesisir utara Pulau Jawa mengalami keruntuhan satu per satu. Kondisi ini merupakan kesempatan dan peluang bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara.
Sejalan dengan perkembangan Makasar sebagai pusat perdagangan, maka upaya ekspansi pun semakin berkembang dalam rangka perluasan daerah penghasil bahan pangan dalam aktivitas niaga. Setelah berkembang menjadi pusat perdagangan nasional dan internasional di kawasan timur Nusantara, Makasar tidak dapat memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat dalam perdagangan. Oleh karena itu, maka Kerajaan Gowa mulai mengadakan pembelian beras dari Jawa yakni dari Gresik, Tuban, dan Jepara. Pembelian beras dari Jawa masih belum mencukupi permintaan dan juga tergantung pada musim dan pelayaran. Karena itu, Makasar mulai mencari daerah beras yang dekat dan mudah dikuasai, yaitu dengan cara memperluas daerah kekuasaan menuju ke selatan yang akan dijadikan sebagai gudang cadangan beras bagi Makasar. Kegiatan penyebaran agama Islam juga dilakukan seiring dengan perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo (dikenal juga dengan Sebutan Kerajaan Makasar). Penyiaran Islam tidak hanya dilakukan di Wilayah Sulawesi, tetapi juga kegiatan dakwah diarahkan ke daerah yang dikuasainya, termasuk dalam hal mi Kerajaan Bima.
Daerah Lombok dan sumbawa mendapat pengaruh islamisasi dari dua arah. Pada tahap awal, sekitar abad ke-16 M, pengaruh itu berasal dari Jawa dengan tokoh penyebarnya Sunan Prapen, dan selanjutnya pada abad ke-17 dari daerah Gowa. Ini terbukti pada makam kuno di Bima terlihat adanya pengaruh bentuk nisan seperti makam-makam kuno di Tallo atau di Tamalatte (Gowa), dan di Seloparang terlihat adanya bentuk Jawa Timur dan Bugis-Makasar.
Di wilayah Kalimantan, daerah pertama kali menerima kehadiran Islam adalah Banjarmasin (sekitar 1550 M). Hal ini terjadi karena adanya hubungan ekonomi yang sejak pra-Islam telah terjalin antara daerah ini dengan daerah utara Jawa, terutama dengan kerajaan Demak. Di Kalimantan Timur, daerah yang pertama mendapat pengaruh Islam adalah Kutai, dengan tokoh penyebarnya Dato ri Bandang dan temannya Tuan Tunggang Parangan setelah keduanya berhasil mengislamkan Raja Mahkota dari kerajaan Kutai sekitar tahun 1575 M.
Dari Kalimantan Selatan, Islam menyebar ke daerah Kalimantan Barat. Kota Waringin misalnya, menerima Islam setelah Banjarmasin, sedangkan daerah lebih ke barat seperti Sambas, Pontianak dan sebagainya tidak ada keterangan yang jelas kapan Islam masuk daerah ini. Proses islamisasi di Nusantara, terutama pada fase ketiga ini, diwarnai oleh pergulatan antar imperium di satu sisi -di mana raja yang telah terislamkan mempunyai peran yang sangat penting dalam mengislamkan rakyatnya- dengan aktivitas komunikasi yang dibangun oleh para penyebar Islam -pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi- di sisi yang lain, yang berdampak semakin diakuinya peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi lokal. Bahkan dari naskah-naskah kuno abad 17-19 disebutkan bahwa ulama, wali, dan penyebar Islam mempunyai fungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan Raja. Legitimasi tersebut antara lain dilakukan melalui isyarat-isyarat geneologis maupun kesinambungan keturunan. Ini diperlukan agar transformasi Islam tidak menimbulkan chaos dan disharmoni. Contoh legitimasi itu seperti yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, yakni peristiwa ketika Sunan Giri memerintahkan Sunan Prapen untuk hadir dalam pentasbihan Sultan Pajang yang kemudian bergelar Sultan Prabu Adiwijaya. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa sampai permulaan abad ke-17 Islam sudah merata diterima hampir di seluruh daerah Nusantara.
Jika kita melihat sejarah perkembangan Islam di Nusantara, peranan ulama dalam proses penyebaran Islam sangat besar, sebagian dari mereka juga ada yang menduduki jabatan resmi dalam pemerintahan, baik sebagai penasehat raja, qadli atau mufti. Di kerajaan-kerajaan Aceh, Demak, Banten, dan Makasar, sejumlah ulama dikenal sebagai penasehat raja sekaligus menjadi qadli atau mufti. Nurruddin al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili, dan Yusuf al-Makasari adalah nama-nama ulama yang dekat dengan raja pada masanya. Dengan demikian, pengaruh mereka tidak hanya terbatas pada masyarakat luas, tapi juga pada para penguasa dan pengambil kebijakan pada masanya.
Komentar
Posting Komentar