Langsung ke konten utama

Tahap-tahap Pembaruan

Gerakan pembaruan Islam telah melewati proses panjang. Menurut Cendikiawan dari Pakistan Fazlur Rahman (1919-1988 M), proses perkembangan pembaruan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemodernan yang cukup lama terjadi di dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berkembang hingga sekarang. Tahap-tahap gerakan pembaruan Islam dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tahap pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revivalisme pramodernis (premodernism revivalism) atau disebut juga revivalis awal (early revivalism). Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab Saudi, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat. Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya perilaku moralitas kaum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kejumudan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri gerakan revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih seksama untuk melakukan transformasi guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.” Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya suatu ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan sangat lantang ole kaum pembaru. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mecurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah, pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur'an dan Hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Tahap kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Gerakan Pembaruan ini dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w.1897 M) di Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w.1898 M) di India, dan Muhammad Abduh (w.1905 M) di Mesir. Di sini pembaruan Islam termanifestasikan dalam pembaruan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk menginternalisasikan nilai dan mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme dunia Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Hampir seluruh negara atau wilayah Islam jatuh ke tangan penguasa atau penjajah yang dilakukan oleh bangsa Barat yang notabene Kristen. Akibat penjajahan tersebut mereka merasakan dan menyadari ketertinggalan umat Islam.

Kaum pembaru pada tahap ini mempergunakan sebagian ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meski demikian, bukan berarti para pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin santer untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Pada tahap ini juga terdapat ungkapan populer di kalangan umat Islam bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh Al-Qur'an, sedangkan kaum muslim mundur karena meninggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan pembaruan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaruan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang dicoba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imperialisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaruan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan dan dikalahkan.

Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin al-Afghani. Ia mengajarkan solidaritas Pan Islamisme atau menyatukan kembali umat Islam seluruh dunia, serta menolak penjajahan atau imperialisme Barat, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi. Semangat Pan Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Abdul Hamid II (1876-1909 M) mengundang al-Afghani ke Istambul. Gagasan ini dengan cepat mendapat respon hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi semangat demokrasi al-Afghani menjadi ancaman bagi kekuasaan Sultan Abdul Hamid II, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan Islamisme meredup dengan cepat, terutama setelah Turki yang berkoalisi dengan Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapus oleh Mustafa Kemal al-Tarturk pada tahun 1924 M.

Tahap ketiga, gerakan pembaruan Islam disebut revivalisme pasca-modernis (posmodernist revivalist). Gerakan ini mempunyai corak modern, namun agak reaksioner, di mana Al-Maududi dengan Jemaat Islamiyahnya menjadi model tipikal untuk gerakan ini. Pada tahap ini kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan-gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentuasi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern dibedakan dengan madrasah yang tradisional juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan.

Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya. Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan di kalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawaaan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus "pembaratan" di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya. Tahap keempat yang disebut neo-modernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai "pengibar bendera" neo-modernisme menegaskan bahwa gerakan ini dilancarkan berdasarkan kritik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurutnya neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu sini dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Ini merupakan prasyarat utama bagi renaissance Islam.

Cendikiawan dari Pakistan: Fazlur Rahman (1919-1988 M)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pusat Peradaban Masa Dinasti Bani Abbasiyah: Bagdad

Sejarah mencatat bahwa Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah merupakan kota dengan peradaban tingkat tinggi, khususnya zaman keemasan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Pada saat itu, Bagdad muncul sebagai pusat dunia dalam segala aspeknya dengan kemakmuran dan peran internasional yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan bahwa Bagdad menjadi satu-satunya saingan kerajaan Byzantium. Kejayaannya seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Saat itulah, Bagdad menjadi kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia (Philip K. Hitti: 375). Setelah Bagdad, terdapat dua kerajaan Islam yang juga mengalami kemajuan, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Bani Umayyah di Andalusia Spanyol. Di Bagdad terdapat bangunan istana kerajaan sangat megah, di dalamnya terdapat ruangan untuk para harem, pembantu laki-laki yang dikebiri, dan pejabat-pejabat khusus, menempati sepertiga dari kota lingkaran itu. Bagian Yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi de

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa