Langsung ke konten utama

Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia

Sejumlah intelektual telah mengemukakan teori sekitar masuk dan tersebarnya Islam di Nusantara. Meski tidak ada kesepakatan tentang kapan Islam tersebar di wilayah ini dan siapa yang paling berjasa dalam proses islamisasi, tidak dapat dipungkiri bahwa Islam tersebar di wilayah ini dengan cara-cara damai dan tidak memakai jalan kekerasan. Para sarjana berbeda pendapat tentang tiga hal, yaitu kapan islamisasi wilayah Nusantara, dari mana Islam berasal, dan siapa penyebar Islam. Dalam menjawab pertanyaan pertama, para sarjana berpendapat terentang antara abad kedelapan sampai lima belas Masehi. Sementara untuk pertanyaan kedua, perbedaan di antara mereka antara Arab, Persia, Gujarat, India Selatan dan Bengal. Sedangkan pertanyaan terakhir, para sarjana berbeda antara para pedagang muslim atau pendakwah/sufi. Terdapat tiga pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia, yaitu: 

Pendapat pertama; Pijnappel, guru besar University of Leiden, berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang Arab dari Gujarat dan Malabar. Hal ini dibuktikan pada kesamaan mazhab Syafi'i yang terkenal di kedua wilayah tersebut. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Winstedt. Ia menyatakan bahwa Islam sudah tersebar di Kedah pada sekitar abad kesepuluh. Gujarat sebagai tempat asal Islam yang dibawa ke Nusantara juga dikemukakan oleh R.A. Kern. Namun berbeda dengan Pijnappel, Kern mendasarkan pendapatnya pada hasil bacaan Moquetee terhadap batu nisan Malik al-Salih di Samudera, Sumatra Utara, dan Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Menurut Moquette, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Cambay, Gujarat, karena keduanya menyerupai batu nisan yang ada di sana. Oleh karena itu, Kern berpendapat bahwa Islam yang dibawa ke Indonesia berasal dari Cambay, Gujarat. 

Pendapat Kedua; Snouck Hurgronje berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari India Selatan, tanpa menunjuk daerah tertentu. Menurutnya, islamisasi di Nusantara terjadi paling awal pada abad ketiga belas Masehi dan dilakukan oleh para pedagang. Hal itu dapat dilihat dari adanya kesamaan kehidupan spiritual dan hubungan dagang antara kedua wilayah tersebut. 

Pendapat Hurgronje ini didukung oleh Marisson yang mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dari India Selatan, tepatnya Coromandel. Kemiripan dalam tradisi sastra dan kesamaan mazhab Syafi'i, menjadi dasar yang digunakan Marrison. Marrison menolak pendapat yang mengatakan Gujarat sebagai tempat asal Islam karena dua alasan. Pertama; meski ada kemungkinan batu nisan yang ada di Nusantara didatangkan dari Gujarat karena kesamaan keduanya, hal itu baru terjadi paling awal pada abad keempat belas, karena Gujarat belum menjadi daerah Islam sampai akhir abad ketiga belas. Kedua; mazhab yang populer di Gujarat bukan Syafi'i melainkan Hanafi. 

Sejarawan Arnold juga mempunyai pendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari India Selatan. Namun, Arnold membuka kemungkinan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang pada abad pertama Hijriyah sebagai konsekuensi logis adanya hubungan dagang antara Cina dan Asia Barat sebelum masa Islam. 

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Fatimi. Dengan menggunakan catatan perjalanan Tome Pires dan sumber-sumber Cina, dia mengemukakan bahwa asal Islam di Nusantara adalah Bengal. Popularitas tasawuf di kedua wilayah menjadi alasan pendapatnya. Dia juga menolak pendapat Marisson bahwa Islam berasal dari Gujarat dengan menggunakan argumen Marisson sendiri bahwa Asia Selatan belum menjadi Islam sampai akhir abad ketiga belas. Fatimi juga menolak analisa Moquette terhadap batu nisan Pasai dan Gresik. Menurut Fatimi, batu nisan di kedua kota tadi lebih mirip dengan batu nisan yang ada di Bengal daripada di Gujarat. Lebih jauh Fatimi berpendapat bahwa penduduk Nusantara sudah mengenal Islam sejak abad pertama Hijriah; pada abad kesembilan, Islam telah mempunyai pengaruh yang cukup kuat di kota-kota pelabuhan Nusantara; dan pada awal abad ketiga belas Islam telah mempunyai kekuatan politik. Dalam hal siapa yang membawa Islam ke Nusantara, Fatimi yakin bahwa pada masa-masa awal mereka adalah para pedagang Arab-Persia. Upaya penyebaran Islam pada saat itu tidak terlalu sukses, sampai sekitar abad ketiga belas ketika penyebaran Islam dilakukan oleh para Sufi. Itulah mengapa, Islam yang berkembang di Nusantara ini, menurut Fatimi, sangat dipengaruhi praktik-praktik tasawuf. 

Pendapat ketiga; Para sarjana “pribumi” muslim mengadakan acara seminar tentang masuknya Islam ke Nusantara di Medan, Sumatera Utara, pada 1963. Seminar yang membahas masalah-masalah terkait dengan kedatangan Islam ke Nusantara menyepakati bahwa Islam telah sampai ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah, sekitar abad ketujuh atau awal abad kedelapan Masehi; datang langsung dari Arab; dan dibawa oleh para mubalig yang mungkin saja merangkap sebagai pedagang untuk mendukung aktivitasaktivitas dakwahnya. Kesimpulan ini dimaksudkan untuk menolak berbagai teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari India, dibawa oleh para pedagang pada abad ketiga belas. Pada 1978, seminar sejenis digelar di Banda Aceh yang membahas kedatangan dan penyebaran Islam di Aceh. Kesimpulan seminar ini membenarkan dan memperkuat kesimpulan seminar dl Medan.

Cendikiawan muslim Malaysia Naguib al-Attas juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dari India dan disebarkan oleh para pedagang. Menurutnya, Islam disebarkan oleh orang-orang Arab sebagaimana disebutkan dalam beberapa kronik. Mungkin saja dalam perjalanannya ke Nusantara mereka melalui India, Persia, atau bahkan Cina, tetapi menurut al-Attas jelas mereka datang dari Arab. Namun berbeda dengan kesimpulan dua seminar di atas, al-Attas berpendapat bahwa proses islamisasi di Nusantara terjadi dalam tiga fase. Fase pertama terjadi pada 1200 sampai 1400; kedua 1400-1700, dan terakhir sejak 1700. Hal ini berarti bahwa islamisasi Nusantara, menurut al-Attas, paling awal terjadi pada abad ketiga belas Masehi. 

Lepas dari beragamnya berbagai pendapat di atas, satu hal yang tidak ada perselisihan di antara para pakar tersebut adalah tersebarnya Islam di Nusantara berlangsung dengan jalan damai. Hampir tidak ada data bahwa kekuatan politik yang ada di luar wilayah Nusantara datang untuk menundukkan wilayah Nusantara, kemudian memaksakan penyebaran Islam. Yang terjadi, Islam tersebar secara gradual, baik itu melalui media perdagangan, tasawuf, kesenian, atau lainnya dan ini yang kemudian menjadikan gambaran Islam di Nusantara mempunyai sifat atau karakter yang berbeda dengan Islam yang berkembang di wilayah lain. 

Sebagai contoh adalah masuk Islamnya penduduk di Samudera Pasai (Aceh), seperti tercermin dalam Hikayat Raja-raja Pasai, adalah contoh islamisasi secara damai. Dalam hikayat tersebut disebutkan bahwa Merah Silau, Raja Samudera Pasai menjadi muslim setelah dalam mimpinya bertemu Nabi Muhammad Saw. dan diperintahkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika terbangun, dia juga mendapati dirinya sudah dikhitan. Dalam mimpi tersebut dia juga diperintahkan mengganti gelarnya menjadi Malikus Saleh. Tidak lama setelah itu, datang seseorang bernama Syaikh Ismail yang kemudian mengajarkan tentang Islam. Masuk Islamnya sang raja kemudian diikuti oleh sebagian besar rakyatnya. Kisah yang hampir sama juga disebut dalam Sejarah Melayu yang mengkisahkan masuk Islamnya Raja Tengah, penguasa Malaka. Lewat mimpi, raja diperintahkan mengucapkan dua kalimat syahadat oleh N abi Saw. dan kemudian ketika terbangun dia langsung bisa mengucapkan kedua kalimat syahadat dan mendapati dirinya sudah dikhitan. Tidak lama setelah itu, datang Sayyid Abdul Aziz yang mengajarkan lebih banyak tentang Islam. Oleh Abdul Aziz ini, gelar sang raja diubah menjadi Sultan Muhammad Shah. Rakyat Malaka kemudian mengikuti rajanya memeluk Islam. 


Di lain pihak, kisah tentang islamisasi di Patani (yang sekarang menjadi Wilayah Thailand) bermula ketika sang raja, Phaya Tu Nakpa, menderita sakit kulit berkepanjangan yang tidak bisa disembuhkan oleh semua tabib yang ada di wilayah tersebut. Kemudian sang raja membuat maklumat bahwa siapa saja yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut akan dijadikan sebagai menantu. Ketika pengumuman itu didengar oleh Syaikh Said dari Pasai, dia menyampaikan pesan, bahwa dia berniat menyembuhkan penyakit sang raja tapi dia tidak berminat diambil menantu. Sebagai pengganti, dia minta raja masuk Islam setelah sembuh. Ketika pesan tersebut disampaikan, raja bersedia memenuhi syarat yang diajukan oleh Syaikh Said. Beliau kemudian pergi menemui raja dan berupaya menyembuhkan penyakitnya. Namun setelah sembuh, raja ternyata tidak memenuhi janji sampai dua tahun kemudian, raja menderita sakit yang serupa. Dipanggillah lagi Syaikh Said untuk menyembuhkan sang raja. Diulangi lagi persyaratan yang sama dan raja menyetujui untuk masuk Islam. Ternyata raja mengingkari lagi janjinya setelah sembuh. Setahun berikutnya raja mengalami sakit lagi yang sama. Setelah yang ketiga kali, baru raja memenuhi janjinya, masuk Islam dan kemudian diikuti oleh seluruh menteri dan rakyatnya. 

Kisah tentang masuk Islamnya raja-raja di Nusantara kemudian diikuti oleh rakyatnya juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti Banjar, Wajo, dan Ternate. Meski kebenaran historis dari cerita ini masih dipertanyakan, tapi kisah tersebut mengkonfirmasi pendapat bahwa Islam tersebar di Wilayah Nusantara terjadi secara damai, tanpa melalui pertumpahan darah. Islamisasi yang bermula dari raja dan keluarganya kemudian diikuti oleh rakyatnya menjadi cerita umum tentang dipeluknya agama Islam di wilayah ini. 

Proses selanjutnya dalam proses islamisasi adalah internalisasi ajaran-ajaran Islam yang terjadi secara timbal-balik, dua arah. Mengutip sejarawan Ricklefs, Saiful Umam mengemukakan bahwa maksud dua arah adalah terjadi saling mempengaruhi antara ajaran Islam dan praktek budaya setempat. Yang terjadi adalah, di satu sisi masyarakat Setempat menerima dan memeluk Islam yang berdampak pada perubahan sebagian prilaku dan budaya masyarakat setempat sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Di sisi lain, ada sebagian budaya setempat yang tetap bertahan dan diintegrasikan menjadi bagian dari budaya Islam. Dengan kata lain, islamisasi dan lokalisasi berlangsung secara sinergis. Atau, dalam istilah Ricklefs yang mengkaji Islam di Jawa, terjadi proses islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. 

Proses dialektika dua arah ini dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu: Pertama; Penggunaan istilah-istilah lokal untuk mendeskripsikan konsep yang khas dalam Islam atau ritual tertentu adalah salah satunya. Misalnya, kata Pangeran atau Pengeran dan sembahyang. Kedua kata ini, dan juga, sejumlah kata lain, sudah muncul dalam teks klasik abad keenam belas yang semula diduga berisi ajaran Sunan Bonang. Pengeran adalah istilah lokal, tepatnya Jawa, yang semula digunakan untuk menyebut seorang pemimpin atau keluarga bangsawan. Artinya, kata tersebut awalnya digunakan untuk mewakili sebuah konsep fisik yang riil. Kemudian, kata tersebut juga digunakan untuk menyebut konsep Tuhan yang abstrak dalam Islam. Dalam masyarakat Jawa, kata ini masih digunakan secara luas untuk dua pengertian yang berbeda tadi. Meski demikian, mereka pada umumnya mudah mengenali dalam arti apa kata tersebut dimaksudkan, dengan melihat konteks kalimatnya. Sementara itu, kata sembahyang yang semula digunakan untuk menunjukkan aktivitias menghormati/memuja dewa pada masyarakat pra-Islam, kemudian digunakan secara luas oleh masyarakat Islam, tidak hanya di Jawa tapi juga di dunia Melayu pada umumnya, untuk menunjukkan ibadah yang khas Islam, yakni salat. Jadi ketika seorang Muslim menyebut kata tersebut, maka ia tidak lagi punya arti lain selain berarti ibadat salat yang khusus ada dalam Islam. Puasa (Poso, Jawa) yang semula bermakna laku ritual asketik, seperti tapa, kemudian juga digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu dalam Islam, yakni tidak makan dan minum, mulai dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. 

Kedua; Penggunaan huruf Arab untuk menulis bahasa lokal adalah contoh lain dari proses islamisasi dua arah. Bahasa Arab yang merupakan bahasa masyarakat tempat turunnya Islam, dan kemudian menjadi bahasa Islam, telah diperkenalkan kepada penduduk Nusantara bersamaan dengan penyebaran Islam. Sementara Islam diterima sebagai agama, bahasa Arab tidak serta merta menggantikan bahasa lokal. Di sisi lain, sebagian umat Islam di Nusantara kemudian mengadopsi huruf Arab untuk menuliskan bahasa setempat, yang kemudian dikenal dengan Jawi (tulisan Arab, bahasa Melayu) dan Pegon (tulisan Arab, bahasa Jawa atau Sunda). Sampai saat ini Jawi masih dapat dijumpai mulai dari wilayah bagian Selatan sampai Malaysia dan wilayahwilayah Melayu di Indonesia, sementara Pegon masih digunakan di kalangan santri di pulau Jawa. Jawi dan Pegon tidak hanya digunakan untuk beragam keperluan, mulai dari menulis pengetahuan keagamaan, cerita-cerita lokal, surat-surat resmi kerajaan, sampai catatan-catatan personal. 

Ketiga; Contoh lain dari islamisasi dua arah adalah bertahannya mode pakaian setempat, dengan tetap mengadopsi prinsip-prinsip penting berpakaian dalam Islam, yakni menutup aurat. Sebagaimana diketahui bersama, busana Muslim di Nusantara tidak terpengaruh dengan gaya pakaian di Arab, tempat Islam turun pertama kali. Mulai dari penutup kepala, baju atasan, maupun pakaian bawahan, baik untuk kaum laki maupun perempuan, mempunyai bentuk khas yang berbeda dengan wilayah-wilayah Islam lainnya. Meski dalam beberapa dekade terakhir ini gelombang Arabisasi mode pakaian sebagai dampak dari gerakan trans-nasional Islam, mempengaruhi sebagian kecil umat Islam, kecenderungan untuk mempertahankan mode busana muslim khas Nusantara masih akan berlanjut di kalangan mayoritas pemeluk Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pusat Peradaban Masa Dinasti Bani Abbasiyah: Bagdad

Sejarah mencatat bahwa Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah merupakan kota dengan peradaban tingkat tinggi, khususnya zaman keemasan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Pada saat itu, Bagdad muncul sebagai pusat dunia dalam segala aspeknya dengan kemakmuran dan peran internasional yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan bahwa Bagdad menjadi satu-satunya saingan kerajaan Byzantium. Kejayaannya seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Saat itulah, Bagdad menjadi kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia (Philip K. Hitti: 375). Setelah Bagdad, terdapat dua kerajaan Islam yang juga mengalami kemajuan, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Bani Umayyah di Andalusia Spanyol. Di Bagdad terdapat bangunan istana kerajaan sangat megah, di dalamnya terdapat ruangan untuk para harem, pembantu laki-laki yang dikebiri, dan pejabat-pejabat khusus, menempati sepertiga dari kota lingkaran itu. Bagian Yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi de

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa