Langsung ke konten utama

Pusat Peradaban: CORDOBA


Ketika ad-Dakhil berkuasa, Cordoba menjadi ibu kota negara. Ia membangun kembali kota ini dan memperindahnya, serta membangun benteng dan istananya. Agar kota ini mendapat air bersih, digalinya danau yang airnya didatangkan dari pegunungan. Air danau itu, selain dialirkan ke istana dan rumah-rumah penduduk, juga dialirkan melalui parit-parit ke kolam-kolam dan lahan-lahan pertanian.

Penduduk Andalusia, termasuk Cordoba memperoleh peran yang sama dalam pembangunan negara. Dinasti Bani Umayyah II mampu menempatkan Cordoba sejajar dengan Konstantinopel dan Bagdad sebagai pusat peradaban dunia. Perkembangan pesat terjadi pada masa al-Mustansir dan al-Muayyad. Pusat kota yang dikelilingi oleh dinding tembok dengan tujuh pintu gerbangnya, pada waktu itu sudah berada di tengah, karena berkembangnya daerah pinggiran di sekitarnya. Daerah pinggiran itu, menurut sejarawan Jurji Zaidan berjumlah 21 distrik, masing-masing distrik memiliki banyak masjid, beberapa pasar, dan pemandian umum. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, daerah pinggiran itu tidak kurang dari 28 distrik.

Luas Cordoba waktu itu sekitar 144 mil persegi, panjang 24 mil dan lebar enam mil. Penduduk Cordoba sekitar 500.000 orang, rumahnya berjumlah 13.000 buah, tidak termasuk istana-istana megah, daerah pinggiran, 300 buah pemandian umum dan 3000 masjid. Tidak ada yang menandingi keindahan kota pada masa itu selain Bagdad. Menurut Jurji Zaidan, penduduk Cordoba pada masa al-Manshur ibn Abi Amir sekitar 2 juta orang. Bangunannya berjumlah 124.503 buah, terdiri dari 113.000 rumah penduduk, 430 istana, 6.300 rumah pegawai negeri, 3.873 masjid dan 900 pemandian umum. Seluruh jalan di Cordoba pada waktu itu sudah diperkeras dengan batu dan diterangi lampu pada waktu malam. Bandingkan dengan London yang 700 kemudian hampir belum ada lampu penerangan di jalan-jalan, juga di Paris selama berabad-abad kemudian, tebalnya lumpur di musim hujan bisa setinggi mata kaki bahkan sampai di ambang pintu rumah.

Di Cordoba terdapat istana Az-Zahra yang abadi dalam sejarah karena nilai seni dan kecanggihannya sehingga sejarawan Turki Dhiya Pasya, mengatakan bahwa istana itu merupakan keajaiban zaman pada masa itu. Kubu-kubu bangunan itu berdiri di atas 4316 tiang yang terbuat dari berbagai macam marmer yang terukir secara sistematis. Lantainya beralaskan batu-batu marmer yang berwarna-warni dengan formula yang indah. Dinding-dindingnya dilapisi lempengan-lempengan lazuardi keemasan-emasan. Di serambi-serambinya terdapat mata air tawar yang memancar dan tertuang ke kolam-kolam yang terbuat dari marmer putih beraneka bentuk, kemudian bermuara ke sebuah kolam di kamar khalifah. Di bagian tengah kolam ini terdapat angsa emas yang di kepalanya bergantung sebutir mutiara. Ikan-ikannya beraneka macam dalam jumlah ribuan ekor. Roti-roti yang dilemparkan ke situ sebagai makanan ikan-ikan itu mencapai 12.000 potong setiap hari.

Di istana Az-Zahra terdapat majelis bernama Qashrul Khalifah (semacam istana kepresidenan). Langit-langit dan dinding-dindingnya terbuat dari emas dan marmer tebal yang jernih warnanya dan beraneka macam jenis. Di bagian tengahnya terdapat sebuah kolam besar yang penuh dengan air raksa. Di setiap sisi majelis terdapat delapan pintu melengkung yang terbuat dari gading dan kayu jati yang dihias dengan emas dan macam-macam permata yang berdiri tegak di atas lantai marmer berwarna dan Kristal jernih. Matahari masuk melalui pintu-pintu itu dan sinarnya jatuh mengenai bagian tengah majelis dan dinding-dindingnya sehingga terpancar dari situ sinar yang sangat menyilaukan.

Istana Az-Zahra dikelilingi taman-taman yang hijau dan lapangan-lapangan yang luas. Di samping itu ada tembok besar yang melingkupi bangunan menakjubkan yang memiliki tiga ratus benteng pertengahan. Az-Zahra berisikan rumah kediaman khalifah, para amir, dan keluarga. Ruangan-ruangan besar untuk singgasana raja terletak di sebuah tempat yang diberi nama Assatul Mumarrad yang memiliki kubah dengan bahan baku emas dan perak.

Pembangunan Az-Zahra memakan waktu empat tahun. Rata-rata batu yang dipahat setiap hari sebanyak 6.000 buah di samping batu-batu yang dipakai untuk pengerasan lantai. Buruh yang bekerja di situ berjumlah 10.000 orang setiap hari, dibantu oleh 1400 ekor bagal, dan setiap hari dipasok 1.100 muatan bata dan gamping.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pusat Peradaban Masa Dinasti Bani Abbasiyah: Bagdad

Sejarah mencatat bahwa Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah merupakan kota dengan peradaban tingkat tinggi, khususnya zaman keemasan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Pada saat itu, Bagdad muncul sebagai pusat dunia dalam segala aspeknya dengan kemakmuran dan peran internasional yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan bahwa Bagdad menjadi satu-satunya saingan kerajaan Byzantium. Kejayaannya seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Saat itulah, Bagdad menjadi kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia (Philip K. Hitti: 375). Setelah Bagdad, terdapat dua kerajaan Islam yang juga mengalami kemajuan, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Bani Umayyah di Andalusia Spanyol. Di Bagdad terdapat bangunan istana kerajaan sangat megah, di dalamnya terdapat ruangan untuk para harem, pembantu laki-laki yang dikebiri, dan pejabat-pejabat khusus, menempati sepertiga dari kota lingkaran itu. Bagian Yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi de

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa