Langsung ke konten utama

Faktor-Faktor Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah Di Andalusia


Keruntuhan Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol tidak lepas dari sistem kenegaraan yang bersifat monarki atau kerajaan, sehingga banyak di antara para putra mahkota yang tidak layak memimpin dipaksakan sebagai khalifah. Di samping itu, masyarakat Spanyol pada masa Dinasti Bani Umayyah II sangat beragam, dan terdiri atas berbagai unsur: Arab, Barbar, Kristen dan Yahudi. Meski bangsa Arab dan Barbar sama-sama mempunyai andil besar dalam menaklukkan bangsa Goth di Spanyol, namun keadaan dua rumpun etnis ini sangat berbanding terbalik. Oleh bangsa Arab, bangsa Barbar disingkirkan, dan ditempatkan di daerah pegunungan sebagai benteng untuk menangkal serangan bangsa Kristen. Keadaan ini menyulut kecemburuan sosial bangsa Barbar yang juga turut andil dalam penaklukan beberapa wilayah. Mereka mengadakan perlawanan-perlawanan menuntut persamaan derajat karena sama-sama mempunyai andil membesarkan Andalusia.

Sementara itu, penduduk yang semula memeluk Kristen, berubah menjadi dua golongan: muslim dan non-muslim. Meski masih banyak pemeluk Kristen yang tetap pada agamanya, namun toleransi yang mereka tunjukkan sangat besar. Mereka menerima budaya-budaya Arab dengan tangan terbuka. Oleh khalifah Dinasti Bani Umayyah II, mereka diperlakukan istimewa. Khalifah mendirikan sebuah mahkamah yang khusus menangani kasus-kasus mereka, bahkan mayoritas masyarakat Kristen mendapat kepercayaan memimpin peperangan dan menjadi pejabat negara.

Bangsa Yahudi pada waktu itu juga mendapatkan toleransi beragama yang sangat luas: sesuatu yang tidak mereka dapatkan pada masa kepemimpinan bangsa Goth. Mereka menguasai bidang-bidang strategis, seperti perdagangan, kesehatan, dan kebudayaan yang berpusat di Cordoba. Mereka juga dipercayai menjalankan beberapa profesi kepemerintahan, seperti menteri dan duta besar.

Ada juga sebuah golongan yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Spanyol, yaitu kaum 'shoqolibah'. Mereka adalah budak-budak yang dimanfaatkan khalifah sebagai tentara kerajaan untuk memadamkan perlawanan kaum Kristen dan juga untuk mengurangi atau memadamkan pengaruh dan fanatisme rasial bangsa Arab yang seringkali menimbulkan kecemburuan ras lain. Mereka mendapatkan tempat terhormat dalam pemerintahan Abdurrahman an-Nashir. Namun setelah kematian perdana menteri Ibnu Abi Amir beberapa tahun kemudian, kaum 'shoqolibah' sering mengadakan pemberontakan, namun dapat ditumpas oleh bangsa Barbar.

Berbagai masalah tersebut hanya dapat diselesaikan oleh para khalifah yang betul-betul cakap dalam mengelola sebuah negara seperti Khalifah Abdurrahman ad-Dakhil dan Abdurrahman III. Tetapi ketika para khalifah kurang cakap dalam mengelola sebuah negara, seperti para khalifah yang memimpin pada masa akhir Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol, maka situasi negara berangsur-angsur tidak stabil dan akhirnya hancur. Maka, benar jika suatu perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.

Keruntuhan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol merupakan suatu peristiwa Selarah yang perlu kita gali hikmahnya. Di antara hikmah yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah:
  1. Dalam menjalankan sebuah pemerintahan sebaiknya diberikan kepada orang yang memenuhi keriteria kecakapapan kepemimpinan seperti adil, bijaksana, mempunyai kemampuan manajerial, berwawasan kedepan dan seterusnya.
  2. Pergantian kepemimpinan sebaiknya diatur secara demokratis, sehingga bisa didapatkan pemimpin yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan a...

Kerajaan Perlak (840-1292 M)

Hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1963, telah menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak. Kesimpulan seminar tersebut kemudian dikukuhkan dalam Seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978. Kesimpulan ini kemudian dikukuhkan lagi dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Banda Aceh.  Sumber-sumber dan bukti sejarah yang dapat digunakan berkaitan dengan keberadaan kerajaan Perlak paling tidak ada dua, yakni pertama naskah-naskah tua berbahasa Melayu dan kedua ditemukannya bukti-bukti arkeologis peninggalan sejarah. Naskah-naskah tua yang dijadikan sebagai rujukan mengenai keberadaan Kerjaan Perlak paling tidak ada tiga yakni;  Idharatul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi, karya Abu Ishak Makarani Al-Fasy;  Kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sultan as Salathin, karangan Syekh Syamsul Bahri Abdullah As-Asyi;  Silsilah Raja-Raja Perlak dan Pasai, catatan Sayid Abdullah Ibn Sayid Habib Sa...

Pusat Peradaban Masa Dinasti Bani Abbasiyah: Bagdad

Sejarah mencatat bahwa Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah merupakan kota dengan peradaban tingkat tinggi, khususnya zaman keemasan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Pada saat itu, Bagdad muncul sebagai pusat dunia dalam segala aspeknya dengan kemakmuran dan peran internasional yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan bahwa Bagdad menjadi satu-satunya saingan kerajaan Byzantium. Kejayaannya seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Saat itulah, Bagdad menjadi kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia (Philip K. Hitti: 375). Setelah Bagdad, terdapat dua kerajaan Islam yang juga mengalami kemajuan, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Bani Umayyah di Andalusia Spanyol. Di Bagdad terdapat bangunan istana kerajaan sangat megah, di dalamnya terdapat ruangan untuk para harem, pembantu laki-laki yang dikebiri, dan pejabat-pejabat khusus, menempati sepertiga dari kota lingkaran itu. Bagian Yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi de...