Langsung ke konten utama

Wilayah Kekuasaan dan Fase Pemerintahan

Secara politik, Wilayah Dinasti Bani Abbasiyah pada masa keemasannya meliputi lebih dari 24 propinsi, mulai dari Afrika sampai ke Bukhara dan Samarkand, suatu pemerintahan super power pada masa itu. Wilayah kekuasaan Islam amat luas yaitu meliputi Wilayah yang telah dikuasai oleh Dinasti Bani Umayyah antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, Afganistan, dan Pakistan. Daerah-daerah tersebut memang belum sepenuhnya berada di Wilayah Dinasti Bani Umayyah, namun di masa kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah perluasan daerah dan penyiaran Islam semakin berkembang, sehingga meliputi daerah Turki, Armenia, dan sekitar Laut Kaspia. Luasnya wilayah ini sangat berimplikasi pada semakin kompleksnya umat Islam baik secara geografis, sosial, budaya maupun etnis golongan. Perkembangan ini didukung oleh tingkat perekonomian dari sektor perpajakan, perdagangan, pertanian, perindustrian yang semakin maju dan memberikan peluang pekerjaan bagi para penduduk.

Tetapi pada perkembangan berikutnya, para khalifah Dinasti Bani Abbasiyah lebih memberikan otonomisasi kekuasaan kepada para gubernur dan komandan militer di propinsi. Mereka diberi keleluasaan untuk mengatur propinsinya sendiri bahkan sampai memberi gaji atau upah kepada para pegawai dan tentara yang diambilkan pajak propinsi. Akhirnya para penguasa cenderung menaikkan pajak yang membebani masyarakat. Bersamaan dengan itu, kondisi pemerintahan pusat mulai melemah karena faktor internal dan eksternal. Pengelompokan berdasarkan golongan Arab, Barbar, Parsi, Romawi, Turki, dan lain-lain semakin memuncak karena ingin memaksakan kehendak berdasarkan sentimen golongan. Kondisi ini sangat memperburuk situasi negara karena menjurus ke disintegrasi bangsa.

Berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah ini dianggap sebagai suatu kemenangan bagi para pendukung Bani Hasyim (terlebih lagi Ahlul al-Bait) yang memang menginginkan bahwa jabatan khalifah diserahkan kepada mereka pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung sekitar 524 tahun menurut hitungan kalender Hijriah atau 508 tahun menurut hitungan kalender Masehi, dimulai pada tahun 132-656 H/750-1258 M. Periodesasi (pembabakan) sejarah Dinasti Bani Abbasiyah dibagi dalam dua fase, yaitu fase Abbasiyah I dan II.

Fase Abbasiyah I, 132-232 H/750-847 M, diwarnai dengan keberhasilan dan kegemilangan, pemerintahannya dipengaruhi corak Persia, baik dalam kebijakan politik, administrasi, maupun organisasi ketentaraan. Pada periode ini pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah mencapai keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan pusat kekuasaan politik dan agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Khalifah pertama Dinasti Bani Abbasiyah, Abul Abbas memusatkan perhatiannya pada konsolidasi internal, dengan melakukan tindakan tegas terhadap lawan-lawan politiknya, terutama keluarga Bani Umayyah. Ia menetapkan kota Anbar menjadi ibu kota pemerintahan dan diberi nama Hasyimiyah. Ia wafat pada tahun 136 H/754 M. Usaha Abul Abbas ini kemudian diteruskan oleh penggantinya Abu Ja'far Al-Manshur. Setelah keamanan dalam negeri terjamin dengan baik, Abu Ja'far Al-Manshur mulai berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dengan jalan menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani, Persia, Syiria, dan India ke dalam Bahasa Arab, terutama di bidang kedokteran, astronomi, dan ilmu pasti. Abu Ja'far mendirikan kota Bagdad kota pemerintahan termasyhur di Timur dan sebagai pusat berkembangnya ilmu pengetahuan. Di samping itu, ia mendirikan jabatan kehakiman, kepolisian, pajak, dan pos untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan di seluruh daerah. Abu Ja'far dapat menguasai Afrika Utara, namun tidak dapat menundukkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol karena terlalu jauh dari pusat pemerintahan. Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil mendirikan pemerintahan di Spanyol pada tahun 138 H/575 M, dengan ibu kota Cordoba.

Al-Mahdi naik tahta setelah ayahnya Al-Manshur meninggal. Ia melepaskan lawan-lawan politiknya, yang tidak dilepaskan adalah para penjahat, pembunuh dan perampok. Pada masanya pertumbuhan perekonomian meningkat di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, besi. Al-Mahdi melakukan pembangunan-pembangunan seperti memperluas Masjidilharam, memperbaiki jalan antara Madinah, Mekah, dan Yaman. Al-Mahdi digantikan Al-Hadi. Ia hanya memerintah kurang dari setahun, dan banyak menghadapi pemberontakan dari kaum Syi'ah, Khawarij, dan golongan Zindiq (atheis), tetapi semua dapat diatasi olehnya.

Al-Hadi diganti Harun ar-Rasyid. Ia terkenal dalam sejarah sebagai seorang khalifah yang berwibawa, dicintai rakyatnya, dan disegani oleh lawan dan kawan. Ia sangat mencintai ilmu dan kebudayaan, bijaksana, dan penuh inisiatif untuk memajukan kerajaan yang sangat luas itu sehingga tercapailah suatu kemajuan dan kejayaan yang sangat gemilang. Pada masa pemerintahannya, Bagdad yang juga disebut kota seribu satu malam mencerminkan kemakmuran dan kemajuan pemerintahan, terdapat masjid-masjid besar, megah serta penuh ukiran yang indah, jalan-jalan yang teratur rapi, gedung kesenian, teropong bintang, dan lain sebagainya. Rakyat hidup dengan aman, makmur, sejahtera. Ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh dengan baik. Di sekeliling khalifah berkumpul para ahli ilmu sastra, budaya, dan agama.

Pengganti Harun adalah Abdullah Al-Amin. Al-Amin adalah putra mahkota yang diwasiatkan oleh Harun. Dalam wasiat disebutkan bahwa setelah Al-Amin meninggal, ia digantikan oleh adiknya Al-Makmum. Karena ulah seorang wazir (menteri) yang bernama Fadlal bin Rabi, kedua saudara itu saling berperang. Perang saudara berakhir dengan kemenangan Al-Makmum. Al-Makmum lebih dekat dengan golongan Alawiyin sehingga berhasil mengurangi gangguan dari Syi'ah. Dia juga terus melanjutkan perhatian khusus terhadap berbagai bidang yang dapat mendorong kemajuan peradaban Islam.

Al-Makmun digantikan oleh Al-Mu'tashim. Pada masanya ia memberi peluang besar orang Turki masuk dalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan kebencian dari pihak Arab dan Persia sehingga membuat lemahnya pengaruh khalifah. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi lebih kuat.

Pengganti Al-Mu'tashim adalah Al-Watsiq. Pada masa ini perpecahan di kalangan kerajaan semakin bertambah parah sebagai akibat politik yang dijalankan oleh Al-Mu'tashim. Banyak provinsi yang memberontak dan tidak lagi mengakui pemerintahan pusat, seperti Hijaz, Syiria, Mosul, dan Bagdad sendiri. Kesempatan itu digunakan sebaik mungkin oleh bekas-bekas budak dari Turki yang diangkat menjadi tentara. Mereka melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk.

Fase Abbasiyah II, 232-656 H/847-1258 M, disebut dengan masa kemunduran dan kejatuhan. Periode ini dibagi dalam beberapa corak pengaruh kekuasaan. Dimulai dengan pengaruh Turki, masa pemerintahan Imaratul Umara (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pemerintahan Bani Buwaihi (334 H/945 M-447 H/1055 M), dan masa pemerintahan Bani Saljuk (447 H/1055 M-590 H/1194 M). Pada periode kemunduran ini meskipun pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah menurun dalam bidang politik, namun, filsafat dan ilmu pengetahuan tetap berkembang. Setelah Bani Saljuk melemah, maka antara tahun 590 H/1194 M-656 H/1258 M, merupakan periode tanpa pengaruh dinasti lain. Urusan pemerintahan dipimpin oleh kelompok-kelompok pemerintah yang sangat banyak antara lain bergelar Syah dan Atbak. Sedangkan khalifah hanya mengumumkan kedaulatannya di Bagdad dan sekitarnya. Mereka terus menikmati kedaulatan di kawasan yang kecil tersebut, hingga kaum Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan menyerang dan menaklukkan dunia Islam, termasuk Bagdad dan membunuh khalifahnya pada tahun 656/1258.

Dinasti Bani Abbasiyah berbeda karakternya dengan Dinasti Bani Umayyah meskipun sama-sama berasal dari keturunan Quraisy. Dinasti Bani Umayyah lebih menekankan pada aspek ekspansi Wilayah dan Arabisasi. Sedangkan Dinasti Bani Abbasiyah lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam. Jumlah khalifah Dinasti Bani Abbasiyah sekitar 37 orang yang memerintah mulai dari tahun 132 sampai dengan 656 H, dengan urutan sebagai berikut:
Khalifah yang berkuasa di Masa Dinasti Abbasiyah adalah;
  1. Abu al-Abbas Abdullah as-Saffah (132-136/750-754).
  2. Abu Ja'far al-Manshur (136-158/754-775).
  3. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi (158-169/775-785).
  4. Abu Musa al-Hadi (169-170/785-786).
  5. Abu Ja'far Harun ar-Rasyid (170-193/786-809)
  6. Abu Musa Muhammad al-Amin (193-198/809-813).
  7. Abu Ja'far 'Abdullah al-Makmun (198-218/813-833).
  8. Abu Ishaq Muhammad al-Mu'tashim (218-227/833-842).
  9. Abu Ja'far Harun al-Watsiq (227-232/842-847)
  10. Abu al-Fadhl Ja'far al-Mutawakkil (232-247/847-861).
  11. Abu Ja'far Muhammad al-Muntashir (247-248/861-862).
  12. Abu al-Abbas Ahmad al-Musta'in (248-252/862-866).
  13. Abu Abdullah Muhammad al-Mu'taz (252-255/866-869).
  14. Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi (255-256/869-870).
  15. Abu al-Abbas Ahmad al-Mu'tamid (256-279/870-892).
  16. Abu al-Abbas Ahmad al-Mu'tadhid (27 9-289/892-902).
  17. Abu Muhammad Ali al-Muktafi (289-295/902-908).
  18. Abu al-Fadhl Ja'far al-Muqtadir (295-320/908-932).
  19. Abu Manshur Muhammad al-Qahir (320-322/932-934).
  20. Abu al-Abbas Ahmad al-Radhi (322-329/934-940).
  21. Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi (329.333/940-944).
  22. Abu al-Qasim Abdullah al-Mustakfi (333-334/944-946)
  23. Abu al-Qasim al-Mufadhdhal al-Muthi' (334-363/946-974).
  24. Abu al-Fadhl 'Abdul Karim al-Tha'i (363-381/974-991).
  25. Abu al-Abbas Ahmad al-Qadir (381-422/991-1031).
  26. Abu Jafar Abdullah al-Qa'im (422-467/1031-1075).
  27. Abu al-Qasim Abdullah al-Muqtadi (467-487/1075-1094).
  28. Abu al-Abbas Ahmad al-Mustadhhir (487-512/1094-1118).
  29. Abu Manshur al-Fadhl al-Mustarsyid (512-529/1118-1135).
  30. Abu Ja'far al-Manshur ar-Rasyid (529-530/1135-1136).
  31. Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi (530-555/1136-1160).
  32. Abu al-Muzhaffar al-Mustanjid (555-566/1160-1170).
  33. Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadhi' (566-575/1170-1180).
  34. Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir (575-622/1180-1225).
  35. Abu Nashr Muhammad az-Zhahir (622-623/1225-1226).
  36. Abu Ja'far al-Manshur al-Mustanshir (623-640/1226-1242).
  37. Abu Ahmad Abdullah al-Musta'shim (640-656/1242-1258).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan