Perkembangan peradaban/kebudayaan dan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah sangat erat hubungannya dengan gerakan penerjemahan. Gerakan ini dilakukan oleh para ilmuwan dari berbagai latar belakang agama, suku, ras, bangsa dan didukung penuh oleh para penguasa pada waktu itu.
1. Kebudayaan Non Fisik
a. Gerakan Penerjemahan dan Baitul Hikmah
Perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan masa Dinasti Bani Abbasiyah didorong oleh adanya gerakan penerjemahan dan berdirinya Baitul Hikmah oleh penguasa Dinasti Bani Abbasiyah. Kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak masa Dinasti Bani Umayyah, namun gerakan besar-besaran menerjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa asing terutama Bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab mengalami masa kejayaannya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Para penguasa Abbasiyah menugaskan para ilmuwan ke daerah Bizantium guna mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Juga dilakukan pencarian manuskrip-manuskrip di kawasan timur seperti Persia terutama dalam bidang tata negara dan sastra. Asal-usul para penerjemah tidak hanya dari kalangan Islam saja, tetapi juga dari pemeluk Nasrani dari Syiria dan Majusi dari Persia. Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria kuno dulu sebelum ke dalam bahasa Arab. Hal ini dikarenakan para penerjemah biasanya adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri yang berbeda dari bahasa Arab. Kemudian, para ilmuwan yang memahami bahasa Syiria dan Arab menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Arab.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah adalah Khalifah al-Mansur (136-158 H/754-775 M) yang juga membangun ibu kota Bagdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nawbaht, Ibrahim al-Fazari, dan Ali ibn Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang astrologi (ilmu perbintangan) yang sangat berguna bagi kafilah dagang baik melalui darat maupun laut. Diterjemahkan juga buku ketatanegaraan, politik dan moral seperti Kalila toa-Dimna dan Sind hind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di samping itu, manuskrip berbahasa Yunani seperti Logika karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dari Gerasa, Geometri karya Euclid juga diterjemahkan. Manuskrip-manuskrip lain baik yang berbahasa Yunani klasik, Yunani Bizantium, Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), Bahasa Nco-Persia dan Bahasa Syiria juga diterjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn ibn Ishaq (W. 873), seorang Nasrani dari Syria. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena struktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan struktur kalimat bahasa Arab. Untuk memperoleh keakuratan dan keautentikan naskah, dia juga memakai metode penerjemahan dengan memperbandingkan beberapa naskah untuk mendapatkan naskah yang paling autentik yang kini dikenal dengan metode filologi. Metode ini memerlukan beberapa naskah untuk diperbandingkan. Selain naskah berbahasa Yunani, naskah terjemahan dalam Bahasa Syiria kuno juga dipakai sebagai bahan perbandingan dalam menerjemahkan naskah.
Gerakan penerjemahan ini didukung secara langsung oleh Khalifah al-Makmun dengan cara memberi imbalan mahal hasil penerjemahan. Hal ini dia lakukan karena keinginannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai super power dunia ketika itu, al-Makmun membentuk Tim Penerjemah dengan tidak melihat latar belakang agama dan suku, terdiri dari Hunain ibn Ishaq sendiri, dibantu anaknya, Ishaq dan keponakannya, Hubaish, serta ilmuwan lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama Kristen Jacobite, Abu Bisr Matta ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian, Ibn Adi, Yahya ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerap bahasa asing dan kekayaan kosa kata bahasa Arab.
Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian, naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu-ilmu praktis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan. Namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerita pendek dan sejarah jarang diterjemahkan karena bidang ini dianggap kurang bermanfaat dan dalam bahasa Arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju. Faham rasional Mu'tazilah menjadi tulang punggung penyerapan ilmu-ilmu “asing?” agar kemajuan umat Islam segera dapat dicapai. Gerakan penerjemahan mulai mundur setelah pemerintahan Abbasiyah dipengaruhi oleh ulama tradisional sejak zaman al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M), yang khawatir gerakan penerjemahan naskah dari bahasa asing ini akan membahayakan ajaran agama Islam. Kemurnian agama Islam dapat tercampur dengan faham Hellenistik dan Politeisrik Yunani.
Di samping gerakan penerjemahan didirikan juga Baitul Hikmah (Perpustakaan dan Observatorium). Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari lembaga serupa pada masa Imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy. Namun, berbeda dari lembaga pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah, lembaga ini diperluas penggunaannya.
Pada masa Harun al-Rasyid, lembaga ini bernama Khizanah al-Hikmah (Hazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Sejak 815 M, al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini, Baitul Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku dan naskah-naskah kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan Eriopia dan India. Di lembaga ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang aljabar dan astronomi. Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul Hikmah ini.
Direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika. Sejak pertengahan abad ke-9, Baitul Hikmah dikuasai oleh satu mazhab penerjemah di bawah bimbingan Hunayn ibn Ishaq. Mereka menerjemahkan karya-karya keilmuan lain dari Galen serta karya-karya filsafat dan metafisika Aristoreles dan Plato. Di Baitul Hikmah terdapat juga observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan.
Perkembangan ilmu pengetahuan masa Dinasti Bani Abbasiyah dibagi dua, ilmu-ilmu agama, dan ilmu-ilmu umum. Pembagian ini bukan dimaksudkan mendikotomikan antara ilmu agama dan umum, karena keduaduanya dalam ajaran Islam merupakan ilmu yang wajib dipelajari bagi setiap muslim.
b. Filsafat
Dalam bidang filsafat, para lilosuf Islam berusaha menjawab persoalanpersoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan pemikiran baik secara teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam perlu untuk dijawab sebagai pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi. Pada masa ini pemikiran filsafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika, geometri, astronomi, dan musik yang dipergunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis dan gambar, gerakan dan suara. Beberapa Blosof masa Dinasti Bani Abbasiyah adalah:
1) Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi.
Ia lahir di Kufah tahun 796 M, dan wafat di Bagdad tahun 873 M. Al-Kindi berasal dari keluarga bangsawan di Kindah Arabia Selatan. Orang tuanya sebagai Gubernur Basrah, karena itulah ia dijuluki filosof Arab. Masa kecilnya, ia belajar di Basrah kemudian ke Bagdad. Ia menguasai bahasa Yunam dan Arab, dan ikut terlibat aktif dalam gerakan penerjemahan. Menurutnya, antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan, keduanya sama-sama mencari kebenaran. Al-Kindi bukan hanya ahli filsafat, karena karya-karyanya sebanyak 361 buah mencakup beberapa ilmu seperti matematika, astronomi, geometri, ilmu jiwa, politik, dan musik. Melalui terjemahan karyanya dalam bahasa Latin De aspectibus, al-Kindi telah mempengaruhi pemikiran Roger bacon. Sebagian karyanya yang masih tersisa saat ini merupakan terjemahan dalam bahasa Latin, termasuk yang diterjemahkan oleh Gerard dan Cremona.
2) Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh Al-Farabi.
Ia lahir di Farab Transoxiana Turkestan tahun 257 H/870 M, wafat di Damaskus tahun 339 H/950 M di usia 80 tahun. Ayahnya adalah pejabat tinggi militer pada Dinasti Samaniyah (819-999 M). Masa kecil, Al-Farabi belajar agama, bahasa Arab, Turki dan Persia. Ketika pindah ke Bagdad yang waktu itu sebagai pusat ilmu pengetahuan, ia belajar filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu politik, etika, musik dari penerjemah Kristen di Bagdad. Ia dijuluki guru kedua setelah Aristoteles karena risalahnya tentang Plato dan Aristoteles merupakan campuran antara Platonisme, Aristotelianisme, dan mistisisme.
Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi, di dalamnya ia mengatakan bahwa segala yang ada memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah 10. Karya-karya al-Farabi tidak kurang 119 tulisan, beberapa karya yang masih ada adalah: bidang logika (Risalah Sudira Biha fi Jawab masa'il Su'ila/Risalah tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentang Dia), bidang Fisika (Syarh Kitab as-Sama' at-Tabii li Aristutalis/Bahasan atas kitab Aristoteles tentang langit dan Alam Raya), bidang Metafisika (Fusus al-Hikam/Permata Kebijaksanaan), bidang politik (Kitab Ara Ahl al-Madinat al-Fadilah/Kitab tentang Opini Penghuni kota Ideal).
3) Abu Ali Husain ibn Abdillah ibn Sina.
Ia lahir di Afsyana Bukhara tahun 370 H/980 M, wafat pada tahun 428 H/1037 M di Isfahan. Di masa kecil, Ibnu Sina belajar bahasa Arab, fisika, geometri, teologi, hukum Islam, logika. Ia menulis buku lebih dari dua ratus karya, sebagian besar dalam bahasa Arab, sebagian kecil bahasa Persia. Yang membuat Ibnu Sina terkenal adalah karyanya Al-Qanun fi at-Tib dan as-Syifa/ The Canon, suatu ensiklopedi ilmu kedokteran, diterjemahkan ke bahasa Latin abad ke-12, dan selama 500 tahun buku itu menjadi buku pedoman di Universitas-universitas Eropa. As-Syifa merupakan ensiklopedi tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan Di Barat, Ibnu Sina disebut Avicenna, kemasyhurannya di Barat sebagai dokter melampaui sebagai ahli filsafat, sehingga ia diberi gelar the Prince of the Physicians, atau di dunia Islam disebut as-Syaikh ar-Rais, pemimpin utama (dari para filosof).
c. Kedokteran dan Farmasi
Di bidang kedokteran dan farmasi, muncul nama-nama ilmuwan seperti:
1) Ali ibn Sahl Rabban at-Tabari
Ia hidup pada pertengahan abad ke-9, pada mulanya adalah orang Kristen Tabaristan. Pada masa al-Mutawakkil, ia masuk Islam dan menjadi dokter pribadi khalifah. Pada tahun 850 M ia menulis karya Firdaus al-Hikmah (Surga Hikmah), salah satu compendium obat-obatan tertua dalam bahasa Arab. Karya ini juga memuat kajian filsafat, astrotomi, dan didasarkan pada sumber-sumber Yunani dan Hindu.
2) Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya ar-Razi (Rhazes, 865-925 M),
Ia disebut juga ar-Razi karena sesuai dengan tempat kelahirannya, Rayy dekat Teheran, ibu kota Iran. Ia adalah seorang penulis produktif dan dokter kenamaan pada masa itu. Ketika mencari tempat untuk membangun rumah sakit besar di Bagdad, ia menggantung sekerat daging pada beberapa tempat berbeda untuk melihat tempat mana yang paling sedikit menyebabkan kebusukan. Ia telah menulis 113 buku tebal dan 28 buku tipis, 12 di antaranya membahas ilmu kimia.
Karya ar-Razi yang terkenal adalah Kitab at-Tib al-Manshuri, diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul Liber Almansoris, diterbitkan di Milan tahun 1480 an. Sebagian buku tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan Jerman. Ia juga menulis monograf terkenal tentang bisul dan cacar air berjudul Al-Judari wa al-Hashbah, dalam karya itu ditemukan catatan klinis pertama tentang penyakit bisul. Tahun 1565 karya tersebut diterjemahkan ke bahasa Venesia dan bahasa modern lainnya, hal itulah yang menyebabkan reputasinya lebih terkenal lagi dan dianggap sebagai pemikir paling orisinal bukan saja pada Islam tetapi pada abad pertengahan. Ar-Razi juga menulis buku Ensiklopedi kedokteran berjudul Al-Hawi (buku yang komprehensif), pertama kali diterbitkan ke bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens, buku itu dicetak ulang pada tahun 1486, selanjutnya pada 1542 di Venesia. Buku tersebut merangkum pengetahuan kedokteran Yunani, Persia, dan Hindu yang dikuasai orang Arab saat itu. Karya-karya ar-Razi di bidang kedokteran ini selama berabad-abad telah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran orang barat Latin. (Philiph K. Hitti, 2005, hal. 458-459).
3) Ibn Sina atau Avicenna (980-1037 M)
Ia disebut oleh orang Arab sebagai as-Syekh ar-Rais (orang terpelajar). Ibn Sina lebih menguasai filsafat daripada ar-Razi dan sebaliknya ar-Razi lebih menguasai ilmu kedokteran daripada Ibn Sina. Pada diri seorang dokter, filosof, dan penyair inilah ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina, lahir di Afsyana Bukhara. Pada masa mudanya ia berhasil menyembuhkan Sultan Dinasti Samaniyah di Bukhara, Nuh bin Mansur (876-997 M), sehingga ia diberi hak utama untuk menggunakan perpustakaan raja. Ibn Sina menulis buku lebih dari 200 judul, tentang filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, teologi, filologi, dan kesenian.
Karya utamanya adalah al-Qanun fi at-Tib, merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks berbahasa Arab pertama kali diterbitkan di Roma pada tahun 1593, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12. Buku itu dengan seluruh kandungan ensiklopedinya, susunannya sistematis, penuturannya filosofis, dan menempati posisi penting dalam karya kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya ar-razi, dan menjadi buku teks pendidikan di Eropa. Pada 30 tahun terakhir abad ke-15, buku itu telah mengalami 15 kali cetak ulang dalam bahasa Latin, dan satu kali bahasa Ibrani. Beberapa tahun terakhir buku itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Buku itu membedakan antara mediastinum dan pleurisy (pembengkakan pada paru-paru), dan mengenali penularan wabah phthisis (penyakit saluran pernafasan, terutama asma dan TBC) melalui pernafasan dan penyebaran berbagai penyakit melalui air dan debu. Buku itu memberikan diagnosis ilmiah tentang penyakit ankylostomiasis, dan menyebutkan cacing pita sebagai penyebabnya. Obat-obatan yang disebutkan dalam buku itu berjumlah sekitar 760 macam. Dari abad ke-12 sampai abad ke-17, buku itu menjadi acuan utama ilmu kedokteran Barat, dan menjadi kitab suci kedokteran dalam waktu yang lebih lama dari karya-karya lain.
d. Astronomi dan Matematika
Penerjemahan buku astronomi berasal dari India berjudul Siddhanta ke bahasa Arab pertama kali dilakukan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari tahun 155/771. Disusul kemudian penerjemahan buku Yunani Almagest karya Ptolemeus, oleh al-Hajjaj ibn Mathar tahun 212/887. Khalifah al-Makmun (198/813-218/833) mendirikan observatori astronomi dengan supervisor orang Yahudi yang baru masuk Islam, Sind ibn Ali dan Yahya ibn Abi Mansur (w. 830) dekat gerbang Syammasiyah di Bagdad. Beberapa ahli astronomi pada masa Dinasti Bani Abbasiyah adalah:
1) Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (Alfraganus)
Ia berasal dari Fargana Transoxiana. Pada tahun 961 M ditugasi oleh al-Mutawakkil untuk mengawasi pembangunan sebuah Nilometer di Fushthat. Karya utama al-Farghani, al-Mudkhil ila 'ilm Hay'ah al-Aflak, diterjemahkan ke bahasa Latin tahun 1135 oleh John dari Siville dan Gerard dari Cremona, dan ke bahasa Ibran.
2) Abd al-Rahmanal-Shufi (W. 986),
Ia pengarang kitab al-Kawakib al-Tsabitah (Bintang-bintang yang berbeda tempatnya) yang menjadi karya besar tentang astronomi. Ia juga bekerja di observatorium yang didirikan oleh Sultan Dinasti Buwayhi, Syaraf al-Dawlah (982-989) di istananya Bagdad.
3) Abu al-Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973-1050)
Dalam bidang ilmu pengetahuan alam, terdapat nama al-Biruni yang tinggal di Bagdad. Al-Biruni dipandang sebagai sarjana Islam paling orisinal dan terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Di Bagdad, pada 1030, penulis Arab yang berasal dari Pesia dan berbicara bahasa Turki serta memahami bahasa Sanskerta, Persia, Ibrani dan Suriah ini menulis sebuah cacatan dengan ilmu astronomi berjudul al-Qanun al-Mus'udi fi al-Hay'ah wa al-Nujum yang ia persembahkan untuk sahabatnya, Mus'ud, putra Mahmud. Pada tahun yang sama, ia menyusun buku tentang rumus-rumus geomatri, aritmatika, astronomi dan astrologi berjudul al-Tafhim li Awa'li Shina'ah al-Tanjim, yang terutama membahas berbagai perhitungan tahun, dan masa hidup bangsa-bangsa silam.
Dalam karya-karyanya itu, al-Biruni mendiskusikan dengan cerdas teori perputaran bumi pada porosnya yang mendukung perdebatan pada masa belakangan, dan menghitung dengan akurat panjang garis lintang dan bujur bumi. Al-Biruni, seorang penganut syi'ah yang cenderung berpaham agnistik, melakukan perjalanan di India, dan tertarik dengan filsafat Hindu. Di antara kontribusi ilmiahnya adalah penjelasan tentang cara kerja air mata melalu prinsip hidrostatis, yang menghasilkan teori bahwa lembah Indus pada awalnya merupakan dasar laut kuno yang dipenuhi bebatuan sedimen, disertai gambaran tentang sejumlah makhluk yang menyeramkan, termasuk apa yang kita sebut kembar siam.
e. Kimia
Tokoh muslim di bidang kimia adalah Jabir ibn Hayyan (Geber), berkiprah di Kufah sekitar tahun 160/776. Setelah ar-Razi (w.925), Jabir adalah tokoh terbesar kedua abad pertengahan. Ia percaya bahwa logam biasa seperti seng, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas dan perak dengan formula misterius, yang untuk membuktikannya ia telah menghabiskan tenaga dan waktu. Ia menyatakan pentingnya eksperimen secara lebih seksama dari para ahli kimia sebelumnya. Beberapa abad setelah kematiannya, dalam pembangunan jalan di Kufah, laboratoriumnya ditemukan kembali, dan di dalamnya ditemukan banyak mangkok dan sebongkah emas. Tradisi kesarjanaan Barat mengakuinya sebagai penemu beberapa formula kimia yang tidak terdapat dalam 22 karya berbahasa Arab yang menyebutkan namanya.
Beberapa karya Jabir yang terkenal adalah: Kitab az-Zi'baq as-Syarqi (air raksa timur), Kitab at-tajmi' (buku tentang konsentrasi), Kitab ar-Rahmah (buku tentang cinta). Ratusan karya ilmiah Jabir belakangan banyak diklaim sebagai karya dengan nama orang lain, namun para ilmuan di Eropa maupun Asia mengakui bahwa itu adalah karya Jabir. Jabir menggambarkan secara ilmiah dua operasi utama kimia: kalnikasi dan reduksi kimiawi. Ia memperbaiki metode penguapan, sublimasi, peleburan, dan kristalisasi. (Phlip K. Hitti, 2005: 476).
f. Sejarah dan Historiografi
Buku sejarah yang pertama kali ditulis oleh penulis muslim adalah Sirah Nabawiyah (riwayat hidup Nabi Muhammad Saw.) oleh Ibn Ishaq (W. 150/767) dari Madinah. Buku selanjutnya adalah tentang peperangan berjudul Maghazi karya Musa ibn Uqbah (W.758) dan al-Waqidi (W. 822), disusul kemudian Futuh al-Misr wa Akhbaruha karya Ibn Abdil Hakam (W. 251/870) dari Mesir. Buku ini membahas penaklukan Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol. Karya serupa ditulis oleh Ahmad ibn Yahya al-Balazuri (w. 279/892) berjudul Futuh al-Buldan dan Ansab al-Asyraf. Buku ini menceritakan penaklukan kota-kota dan negeri-negeri secara lebih komprehensif ke dalam satu kesatuan monograf, berbeda dengan tulisan sebelumnya yang terpisah-pisah.
Penulisan buku sejarah agak lebih sistematis dilakukan oleh Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir at-Tabari (224-310/838-922) dari Thabaristan pantai Selatan Laut Kaspia Persia. Bukunya yang termasyhur Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk. Karya ini menjadi sumber sejarah utama bagi penulis sejarah berikutnya seperti ibn Miskawaih, ibn al-Asir, dan Abu al-Fida'. At-Tabari menyusun sejarah secara kronologis, dimulai sejak diciptakannya alam semesta Sampai tahun 302/915. Karya ini menggunakan metode sanad hadis, yaitu berpegang pada kebenaran sumber berita tanpa penilaian terhadap sumber berita tersebut. Buku sejarah karya at-Tabari yang ditemukan dan diterbitkan dewasa ini dinilai hanya sebagian kecil saja yang diketemukan. Sebagian besarnya banyak yang hilang.
Penulis berikutnya adalah Abu al-Hasan Ali al-Mas'udi, dijuluki Herodotus Arab, karyanya berjudul Muruj az-Zahab wa Ma'adin al-Jauhar (ladang emas dan tambang batu permata), ditulis dengan metode topik per topik, berbeda dengan penulis sebelumnya at-Tabari secara kronologis. Disebut Herodotus Arab karena dalam menulis buku sejarahnya, al-Mas'udi mendasarkan pada fakta-fakta hasil pengamatan lawatannya secara langsung ke beberapa wilayah seperti Bagdad, hampir seluruh Asia sampai Zanzibar. Al-Mas'udi wafat tahun 346/957 di Fustat. Pada masa at-Tabari dan al-Mas'udi inilah penulisan buku sejarah mencapai puncak kejayaannya.
g. Teologi
Pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah, perbincangan teologi berkisar pada kelompok rasional diwakili Mu'tazilah dengan tokohnya Wasil ibn Atha' (80-132 H/699-749 M). Mu'tazilah melihat bahwa akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Kelompok ini mendapat angin segar ketika pada masa kekhalifahan al-Makmun (813-833 M) dijadikan sebagai anutan resmi negara, yang berimplikasi pada pemaksaan bagi masyarakat untuk menganut paham Mu'tazilah, sebaliknya jika tidak mau, maka akan dikejar-kejar dan disiksa. Namun pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil (232/847-247/861) menarik dukungan terhadap Mu'tazilah untuk beralih ke Sunni.
Tokoh-tokoh Ahlussunnah wa al-Jamaah adalah ulama Mesir Ahmad ibn Ja'far at-Thahawi (w.331 H/947 M) yang menulis kitab Bayan as-Sunnah wa al-Jamaah. Di Samarkand muncul Abu al-Mansur al-Maturidi (w. 333/944) yang melahirkan aliran Maturidiyah. Di Iraq bangkit aliran Asy'ariyah dimotori oleh Abu Hasan al-Asy'ari (w. 324/935). Pada mulanya Abu Hasan al-Asy'ari adalah murid tokoh Mu'tazilah al-Jubba'i, yang juga bapak tirinya. Bagi al-Asy'ari, masalah teologi tidak bisa dipecahkan hanya dengan akal saja, apalagi menyangkut hal-hal gaib. Dalam karyanya Kitab al-Ibanah Ii Usul ad-Diyanah, dia menjelaskan posisi dan metodenya yaitu, berpegang pada Al-Qur'an, as-Sunnah, penjelasan-penjelasan yang diberikan pada para sahabat, tabi'in dan ahli hadis, dan pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal (Nourouzzaman Shiddiqi, 1986: 55). Setelah al-Asy'ari wafat tahun 324/935, muncul tokoh-tokoh generasi penerus antara lain, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505/1111) seorang teolog kenamaan, bukunya yang paling terkenal adalah Ihya Ulumu ad-Din. Di samping teolog, al-Ghazali juga seorang filosof.
h. Hadis
Hadis diperlukan untuk menafsirkan sumber hukum pertama Al-Qur'an, dan merupakan sumber hukum kedua. Pada mulanya, hadis diriwayatkan secara lisan, baru dikodiflkasi di penghujung tahun 99 H. Pada masa Abbasiyah muncul beberapa ahli hadis yaitu, Al-Bukhari (W. 257 H/870 M), diceritakan mengumpulkan 600.000 hadis, 7.397 diantaranya dianggap sahih. Pada abad ke-3 H/9 M lahir enam kitab kumpulan hadis yang terkenal dengan Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadis), yaitu Sahih al-Bukhari oleh Al-Bukhari (w. 256 H/870 M), Sahih Muslim oleh Muslim (W. 261 H/875 M), Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (w. 273 H/886 M), Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (w. 275 H/888 H), Jami' at-Turmuzi olehat-Tarmizi (w. 279 H/892 M), Sunan an-Nasa'i (w. 303 H/915 M). Dari semuanya itu, kodifikasi al-Bukhari dianggap paling otentik menyusul kodifikasi Muslim, dan kedua-duanya kemudian disebut as-Sahihain (dua yang otentik).
i. Fiqh/Hukum Islam
Bibit-bibit yang ditabur oleh kelompok cekdikiawan, dipimpin oleh Abdullah ibn Umar yang menarik diri dari pertikaian politik untuk lebih fokus ke masalah ilmiah telah membuahkan hasil, baik pada masa Dinasti Bani Umayyah maupun Dinasti Bani Abbasiyah. Pada masa Dinasti Bani Abbasiyah, Pengembangan berbagai cabang keilmuan, termasuk hukum Islam mendapat porsi yang sama. Pemikiran tentang pengembangan hukum Islam sangat diperlukan mengingat banyak masalah-masalah hukum sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat waktu itu yang semakin kompleks.
Semua mazhab-mazhab hukum yang ada jika ditinjau dari sistem, metode, Pendekatan, dan prinsip hukum yang mereka gunakan terhimpun pada dua arus. Pertama, menganut sistem tradisional, yaitu menyandarkan Sumber hukum dari dalil-dalil naqli, dipelopori oleh Malik ibn Anas di Hijaz. Kedua, menganut sistem rasional yaitu lebih banyak memakai rasio (ra'yu), dipelopori oleh Abu Hanifah di Iraq. Namun demikian, terdapat empat mazhab yang paling populer sampai sekarang, dikenal dengan al-Mazahib al-Arba'ah (empat mazhab), yaitu:
1) Hanafi.
Nama lengkapnya An-Nu'man ibn Tsabit Abu Hanifah (w. 150/767). Pengarang kitab Fiqh Akbar. Instrumen pokok yang dipergunakan dalam membangun hukum adalah ra'yu (penalaran) dan qiyas (analogi). Ia lebih menyandarkan langsung kepada Al-Qur'an, tidak kepada hadis, setelah itu baru ra'yu dan qiyas. Prinsip hukumnya adalah istihsan, qiyas berdasarkan keadilan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah berpikiran liberal.
2) Maliki.
Nama lengkapnya Malik bin Anas (W. 179/795). Karyanya yang monumental adalah Kitab al-Muwaththa'. Dia adalah praktisi hukum, dan menjabat sebagai qadi di Madinah. Hidup di masa generasi setelah sahabat, maka sumber hukum yang dipergunakan adalah Al-Qur'an, as-Sunnah, dan Ijma' (consensus ulama). Malik bin Anas berpendapat bahwa konsensus ulama Madinahlah yang dipergunakan sebagai sandaran, karena mereka langsung bertanya kepada para khulafaurrasyidin. Prinsip hukum mazhab ini adalah Maslahat Mursalah (kemaslahatan umum).
3) Syafi'i.
Nama lengkapnya Muhammad ibn Idris as-Syafi'i (w. 205/820), penulis kitab Al-Umm. Dia belajar pada Imam Malik di Madinah, aktivitasnya berkembang di Bagdad, kemudian di Cairo. Imam Syafi'i melihat perbedaan kehidupan antara Hijaz dan Iraq, karena itu ia mengambil posisi jalan tengah antara kondisi tersebut. Dia menawarkan sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Sunnah menurutnya terbatas pada ucapan, perbuatan, dan taqrir/keputusan Nabi saja, jadi tidak termasuk semua tradisi penduduk Madinah. Menurutnya, ijma' ulama juga bukan hanya ulama Madinah, dan ra'yu bukan seperti dipersepsikan oleh Abu Hanifah, tetapi harus bersumber pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Mazhab Syafi'i banyak mendapat pengikut di Mesir, Afrika Timur, Palestina, Arab Timur, India, Malaysia dan Indonesia.
4) Hanbali.
Nama lengkapnya Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855). Walau ia pernah berguru pada ImamSyafi'i, tetapi tidak sependapat dalam hal penggunaan ra'yu walau dalam bentuk qiyas. Dia menolak Mihnah (pemeriksaan paham pribadi) walau dirantai khalifah Al-Makmun dan dipenjarakan oleh Al-Mu'tashim. Karyanya yang terkenal adalah Musnad, memuat 28.003 hadis dalam enam jilid. Mazhab ini berkembang di Saudi Arabia.
j. Tafsir
Pelopor ilmu tafsir adalah Abdullah ibn Abbas dan ibn Mas'ud, kemudian dilanjutkan oleh as-Suday (W. 127 H), dan Maqatil ibn Sulaiman (w. 150 H). Karya-karya tafsir lama tersebut hilang. Karya tafsir klasik yang bisa diketemukan sampai sekarang adalah Tafsir at-Tabari. At-Tabari sebenarnya adalah ahli tafsir, karyanya di bidang sejarah dimaksudkan sebagai pelengkap buah karya tafsirnya. Tafsir at-Tabari diterbitkan di Kairo dalam 30 jilid, masing-masing jilid setebal Al-Qur'an. Tafsir at-Tabari termasuk tafsir bi al-Ma'sur, yaitu tafsir yang disandarkan kepada sunnah nabi, para sahabat dan tabi'in.
Pada masa Dinasti Bani Abbasiyah, tafsir metode bi al-Ma'sur ini kurang mendapat tempat, karena pada masa itu pernah dipaksakan paham Mu'tazilah yang cenderung menggunakan akal. Maka, muncul pula tafsir bi ar-Ra'yi (nalar) yang sejalan dengan Mu'tazilah antara lain Tafsir Abi Bakar al-Asam (W. 230 H), dan tafsir Ibn Jarwi al-Asadi (W. 387 H).
2. Kebudayaan Fisik
Arsitektur Bangunan
Pada mulanya banyak pembangunan monumental yang didirikan para penguasa Abbasiyah. Pendiri kota Bagdad membangun istana khalifah yang disebut gerbang emas (babu az-zahab) atau kubah hijau (al-qubbah al-khadhra'), istana Rusafah untuk putra mahkota, al-Mahdi, istana as-surayya yang dibangun al-Mu'tadhid (892-932) dengan menghabiskan biaya 400.000 dinar, dia juga membangun istana peristirahatan yang mengikuti model mahkota (at-taj), disempurnakan kemudian oleh anaknya al-Muktafi (902-908). Saat ini susah mendapatkan jejak monument peninggalan arsitektur tersebut, semuanya mengalami kerusakan ketika terjadi perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun, dan semuanya hancur total ketika Hulagu Khan menyerang Bagdad pada tahun 1258 M.
Di luar kota Bagdad, terdapat kota dan masjid Samarra yang dibangun oleh Khalifah al-Mu'tashim (833-842), dan diteruskan oleh putranya al-Mutawakkil (847 -861) dengan menghabiskan dana 700.000 dinar, berbentuk persegi empat dengan bentuk jendela yang melengkung dan dilapisi timah. (Philip K. Hitti, 2005: 525).
Seni kaligrafi juga sangat berkembang penting pada zaman Abbasiyah. Kedudukan para kaligrafer juga mendapat penghargaan tinggi, melebihi para pelukis. Kedudukan mereka semakin tinggi sebab para penguasa Dinasti Bani Abbasiyah berusaha mendapatkan kemuliaan agama dengan cara memperindah tulisan kaligrafi Al-Qur'an di rumahnya. Di antara tokoh kaligrafi adalah ar-Raihani (W. 834), yang mengembangkan seni kaligrafi masa al-Makmun dan menyempurnakan gaya kaligrafi raihan, sesuai dengan namanya. Kaligrafer yang muncul pada zaman terakhir Dinasti bani Abbasiyah adalah Ya'quth al-Mu'tashimi (W. 1022), penemu gaya kaligrafi ya'quti. Karyakarya Ya'quth dinilai mempunyai nilai yang tinggi, dan bisa dilihat warisannya sampai sekarang. Bisa dikatakan bahwa karya-karya kaligrafi adalah warisan seni Islam yang produknya sampai saat ini, bisa dilihat di Konstantinopel, Damaskus, Beirut, Bagdad, dan kota-kota besar Islam lainnya.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan masa Dinasti Bani Abbasiyah dipelopori oleh para pemimpinnya. Berikut ini akan dikemukakan beberapa tokoh beserta perannya masing-masing:
1. Kebudayaan Non Fisik
a. Gerakan Penerjemahan dan Baitul Hikmah
Perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan masa Dinasti Bani Abbasiyah didorong oleh adanya gerakan penerjemahan dan berdirinya Baitul Hikmah oleh penguasa Dinasti Bani Abbasiyah. Kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak masa Dinasti Bani Umayyah, namun gerakan besar-besaran menerjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa asing terutama Bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab mengalami masa kejayaannya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Para penguasa Abbasiyah menugaskan para ilmuwan ke daerah Bizantium guna mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Juga dilakukan pencarian manuskrip-manuskrip di kawasan timur seperti Persia terutama dalam bidang tata negara dan sastra. Asal-usul para penerjemah tidak hanya dari kalangan Islam saja, tetapi juga dari pemeluk Nasrani dari Syiria dan Majusi dari Persia. Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria kuno dulu sebelum ke dalam bahasa Arab. Hal ini dikarenakan para penerjemah biasanya adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami bahasa Yunani dan bahasa mereka sendiri yang berbeda dari bahasa Arab. Kemudian, para ilmuwan yang memahami bahasa Syiria dan Arab menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Arab.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah adalah Khalifah al-Mansur (136-158 H/754-775 M) yang juga membangun ibu kota Bagdad. Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nawbaht, Ibrahim al-Fazari, dan Ali ibn Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia dalam bidang astrologi (ilmu perbintangan) yang sangat berguna bagi kafilah dagang baik melalui darat maupun laut. Diterjemahkan juga buku ketatanegaraan, politik dan moral seperti Kalila toa-Dimna dan Sind hind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di samping itu, manuskrip berbahasa Yunani seperti Logika karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dari Gerasa, Geometri karya Euclid juga diterjemahkan. Manuskrip-manuskrip lain baik yang berbahasa Yunani klasik, Yunani Bizantium, Bahasa Pahlavi (Persia Pertengahan), Bahasa Nco-Persia dan Bahasa Syiria juga diterjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn ibn Ishaq (W. 873), seorang Nasrani dari Syria. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menerjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata. Metode ini lebih dapat memahami isi naskah karena struktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan struktur kalimat bahasa Arab. Untuk memperoleh keakuratan dan keautentikan naskah, dia juga memakai metode penerjemahan dengan memperbandingkan beberapa naskah untuk mendapatkan naskah yang paling autentik yang kini dikenal dengan metode filologi. Metode ini memerlukan beberapa naskah untuk diperbandingkan. Selain naskah berbahasa Yunani, naskah terjemahan dalam Bahasa Syiria kuno juga dipakai sebagai bahan perbandingan dalam menerjemahkan naskah.
Gerakan penerjemahan ini didukung secara langsung oleh Khalifah al-Makmun dengan cara memberi imbalan mahal hasil penerjemahan. Hal ini dia lakukan karena keinginannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai super power dunia ketika itu, al-Makmun membentuk Tim Penerjemah dengan tidak melihat latar belakang agama dan suku, terdiri dari Hunain ibn Ishaq sendiri, dibantu anaknya, Ishaq dan keponakannya, Hubaish, serta ilmuwan lain seperti Qusta ibn Luqa, seorang beragama Kristen Jacobite, Abu Bisr Matta ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian, Ibn Adi, Yahya ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran. Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam menyerap bahasa asing dan kekayaan kosa kata bahasa Arab.
Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian, naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu-ilmu praktis seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan. Namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerita pendek dan sejarah jarang diterjemahkan karena bidang ini dianggap kurang bermanfaat dan dalam bahasa Arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju. Faham rasional Mu'tazilah menjadi tulang punggung penyerapan ilmu-ilmu “asing?” agar kemajuan umat Islam segera dapat dicapai. Gerakan penerjemahan mulai mundur setelah pemerintahan Abbasiyah dipengaruhi oleh ulama tradisional sejak zaman al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M), yang khawatir gerakan penerjemahan naskah dari bahasa asing ini akan membahayakan ajaran agama Islam. Kemurnian agama Islam dapat tercampur dengan faham Hellenistik dan Politeisrik Yunani.
Di samping gerakan penerjemahan didirikan juga Baitul Hikmah (Perpustakaan dan Observatorium). Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari lembaga serupa pada masa Imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy. Namun, berbeda dari lembaga pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah, lembaga ini diperluas penggunaannya.
Pada masa Harun al-Rasyid, lembaga ini bernama Khizanah al-Hikmah (Hazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Sejak 815 M, al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini, Baitul Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku dan naskah-naskah kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan Eriopia dan India. Di lembaga ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang aljabar dan astronomi. Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul Hikmah ini.
Direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis Persia, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika. Sejak pertengahan abad ke-9, Baitul Hikmah dikuasai oleh satu mazhab penerjemah di bawah bimbingan Hunayn ibn Ishaq. Mereka menerjemahkan karya-karya keilmuan lain dari Galen serta karya-karya filsafat dan metafisika Aristoreles dan Plato. Di Baitul Hikmah terdapat juga observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan.
Perkembangan ilmu pengetahuan masa Dinasti Bani Abbasiyah dibagi dua, ilmu-ilmu agama, dan ilmu-ilmu umum. Pembagian ini bukan dimaksudkan mendikotomikan antara ilmu agama dan umum, karena keduaduanya dalam ajaran Islam merupakan ilmu yang wajib dipelajari bagi setiap muslim.
b. Filsafat
Dalam bidang filsafat, para lilosuf Islam berusaha menjawab persoalanpersoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan pemikiran baik secara teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam perlu untuk dijawab sebagai pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi. Pada masa ini pemikiran filsafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika, geometri, astronomi, dan musik yang dipergunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis dan gambar, gerakan dan suara. Beberapa Blosof masa Dinasti Bani Abbasiyah adalah:
1) Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi.
Ia lahir di Kufah tahun 796 M, dan wafat di Bagdad tahun 873 M. Al-Kindi berasal dari keluarga bangsawan di Kindah Arabia Selatan. Orang tuanya sebagai Gubernur Basrah, karena itulah ia dijuluki filosof Arab. Masa kecilnya, ia belajar di Basrah kemudian ke Bagdad. Ia menguasai bahasa Yunam dan Arab, dan ikut terlibat aktif dalam gerakan penerjemahan. Menurutnya, antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan, keduanya sama-sama mencari kebenaran. Al-Kindi bukan hanya ahli filsafat, karena karya-karyanya sebanyak 361 buah mencakup beberapa ilmu seperti matematika, astronomi, geometri, ilmu jiwa, politik, dan musik. Melalui terjemahan karyanya dalam bahasa Latin De aspectibus, al-Kindi telah mempengaruhi pemikiran Roger bacon. Sebagian karyanya yang masih tersisa saat ini merupakan terjemahan dalam bahasa Latin, termasuk yang diterjemahkan oleh Gerard dan Cremona.
2) Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh Al-Farabi.
Ia lahir di Farab Transoxiana Turkestan tahun 257 H/870 M, wafat di Damaskus tahun 339 H/950 M di usia 80 tahun. Ayahnya adalah pejabat tinggi militer pada Dinasti Samaniyah (819-999 M). Masa kecil, Al-Farabi belajar agama, bahasa Arab, Turki dan Persia. Ketika pindah ke Bagdad yang waktu itu sebagai pusat ilmu pengetahuan, ia belajar filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu politik, etika, musik dari penerjemah Kristen di Bagdad. Ia dijuluki guru kedua setelah Aristoteles karena risalahnya tentang Plato dan Aristoteles merupakan campuran antara Platonisme, Aristotelianisme, dan mistisisme.
Filsafatnya yang terkenal adalah filsafat emanasi, di dalamnya ia mengatakan bahwa segala yang ada memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah 10. Karya-karya al-Farabi tidak kurang 119 tulisan, beberapa karya yang masih ada adalah: bidang logika (Risalah Sudira Biha fi Jawab masa'il Su'ila/Risalah tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentang Dia), bidang Fisika (Syarh Kitab as-Sama' at-Tabii li Aristutalis/Bahasan atas kitab Aristoteles tentang langit dan Alam Raya), bidang Metafisika (Fusus al-Hikam/Permata Kebijaksanaan), bidang politik (Kitab Ara Ahl al-Madinat al-Fadilah/Kitab tentang Opini Penghuni kota Ideal).
3) Abu Ali Husain ibn Abdillah ibn Sina.
Ia lahir di Afsyana Bukhara tahun 370 H/980 M, wafat pada tahun 428 H/1037 M di Isfahan. Di masa kecil, Ibnu Sina belajar bahasa Arab, fisika, geometri, teologi, hukum Islam, logika. Ia menulis buku lebih dari dua ratus karya, sebagian besar dalam bahasa Arab, sebagian kecil bahasa Persia. Yang membuat Ibnu Sina terkenal adalah karyanya Al-Qanun fi at-Tib dan as-Syifa/ The Canon, suatu ensiklopedi ilmu kedokteran, diterjemahkan ke bahasa Latin abad ke-12, dan selama 500 tahun buku itu menjadi buku pedoman di Universitas-universitas Eropa. As-Syifa merupakan ensiklopedi tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan Di Barat, Ibnu Sina disebut Avicenna, kemasyhurannya di Barat sebagai dokter melampaui sebagai ahli filsafat, sehingga ia diberi gelar the Prince of the Physicians, atau di dunia Islam disebut as-Syaikh ar-Rais, pemimpin utama (dari para filosof).
c. Kedokteran dan Farmasi
Di bidang kedokteran dan farmasi, muncul nama-nama ilmuwan seperti:
1) Ali ibn Sahl Rabban at-Tabari
Ia hidup pada pertengahan abad ke-9, pada mulanya adalah orang Kristen Tabaristan. Pada masa al-Mutawakkil, ia masuk Islam dan menjadi dokter pribadi khalifah. Pada tahun 850 M ia menulis karya Firdaus al-Hikmah (Surga Hikmah), salah satu compendium obat-obatan tertua dalam bahasa Arab. Karya ini juga memuat kajian filsafat, astrotomi, dan didasarkan pada sumber-sumber Yunani dan Hindu.
2) Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya ar-Razi (Rhazes, 865-925 M),
Ia disebut juga ar-Razi karena sesuai dengan tempat kelahirannya, Rayy dekat Teheran, ibu kota Iran. Ia adalah seorang penulis produktif dan dokter kenamaan pada masa itu. Ketika mencari tempat untuk membangun rumah sakit besar di Bagdad, ia menggantung sekerat daging pada beberapa tempat berbeda untuk melihat tempat mana yang paling sedikit menyebabkan kebusukan. Ia telah menulis 113 buku tebal dan 28 buku tipis, 12 di antaranya membahas ilmu kimia.
Karya ar-Razi yang terkenal adalah Kitab at-Tib al-Manshuri, diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul Liber Almansoris, diterbitkan di Milan tahun 1480 an. Sebagian buku tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan Jerman. Ia juga menulis monograf terkenal tentang bisul dan cacar air berjudul Al-Judari wa al-Hashbah, dalam karya itu ditemukan catatan klinis pertama tentang penyakit bisul. Tahun 1565 karya tersebut diterjemahkan ke bahasa Venesia dan bahasa modern lainnya, hal itulah yang menyebabkan reputasinya lebih terkenal lagi dan dianggap sebagai pemikir paling orisinal bukan saja pada Islam tetapi pada abad pertengahan. Ar-Razi juga menulis buku Ensiklopedi kedokteran berjudul Al-Hawi (buku yang komprehensif), pertama kali diterbitkan ke bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens, buku itu dicetak ulang pada tahun 1486, selanjutnya pada 1542 di Venesia. Buku tersebut merangkum pengetahuan kedokteran Yunani, Persia, dan Hindu yang dikuasai orang Arab saat itu. Karya-karya ar-Razi di bidang kedokteran ini selama berabad-abad telah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran orang barat Latin. (Philiph K. Hitti, 2005, hal. 458-459).
3) Ibn Sina atau Avicenna (980-1037 M)
Ia disebut oleh orang Arab sebagai as-Syekh ar-Rais (orang terpelajar). Ibn Sina lebih menguasai filsafat daripada ar-Razi dan sebaliknya ar-Razi lebih menguasai ilmu kedokteran daripada Ibn Sina. Pada diri seorang dokter, filosof, dan penyair inilah ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina, lahir di Afsyana Bukhara. Pada masa mudanya ia berhasil menyembuhkan Sultan Dinasti Samaniyah di Bukhara, Nuh bin Mansur (876-997 M), sehingga ia diberi hak utama untuk menggunakan perpustakaan raja. Ibn Sina menulis buku lebih dari 200 judul, tentang filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, teologi, filologi, dan kesenian.
Karya utamanya adalah al-Qanun fi at-Tib, merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks berbahasa Arab pertama kali diterbitkan di Roma pada tahun 1593, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12. Buku itu dengan seluruh kandungan ensiklopedinya, susunannya sistematis, penuturannya filosofis, dan menempati posisi penting dalam karya kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya ar-razi, dan menjadi buku teks pendidikan di Eropa. Pada 30 tahun terakhir abad ke-15, buku itu telah mengalami 15 kali cetak ulang dalam bahasa Latin, dan satu kali bahasa Ibrani. Beberapa tahun terakhir buku itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Buku itu membedakan antara mediastinum dan pleurisy (pembengkakan pada paru-paru), dan mengenali penularan wabah phthisis (penyakit saluran pernafasan, terutama asma dan TBC) melalui pernafasan dan penyebaran berbagai penyakit melalui air dan debu. Buku itu memberikan diagnosis ilmiah tentang penyakit ankylostomiasis, dan menyebutkan cacing pita sebagai penyebabnya. Obat-obatan yang disebutkan dalam buku itu berjumlah sekitar 760 macam. Dari abad ke-12 sampai abad ke-17, buku itu menjadi acuan utama ilmu kedokteran Barat, dan menjadi kitab suci kedokteran dalam waktu yang lebih lama dari karya-karya lain.
d. Astronomi dan Matematika
Penerjemahan buku astronomi berasal dari India berjudul Siddhanta ke bahasa Arab pertama kali dilakukan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari tahun 155/771. Disusul kemudian penerjemahan buku Yunani Almagest karya Ptolemeus, oleh al-Hajjaj ibn Mathar tahun 212/887. Khalifah al-Makmun (198/813-218/833) mendirikan observatori astronomi dengan supervisor orang Yahudi yang baru masuk Islam, Sind ibn Ali dan Yahya ibn Abi Mansur (w. 830) dekat gerbang Syammasiyah di Bagdad. Beberapa ahli astronomi pada masa Dinasti Bani Abbasiyah adalah:
1) Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (Alfraganus)
Ia berasal dari Fargana Transoxiana. Pada tahun 961 M ditugasi oleh al-Mutawakkil untuk mengawasi pembangunan sebuah Nilometer di Fushthat. Karya utama al-Farghani, al-Mudkhil ila 'ilm Hay'ah al-Aflak, diterjemahkan ke bahasa Latin tahun 1135 oleh John dari Siville dan Gerard dari Cremona, dan ke bahasa Ibran.
2) Abd al-Rahmanal-Shufi (W. 986),
Ia pengarang kitab al-Kawakib al-Tsabitah (Bintang-bintang yang berbeda tempatnya) yang menjadi karya besar tentang astronomi. Ia juga bekerja di observatorium yang didirikan oleh Sultan Dinasti Buwayhi, Syaraf al-Dawlah (982-989) di istananya Bagdad.
3) Abu al-Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973-1050)
Dalam bidang ilmu pengetahuan alam, terdapat nama al-Biruni yang tinggal di Bagdad. Al-Biruni dipandang sebagai sarjana Islam paling orisinal dan terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Di Bagdad, pada 1030, penulis Arab yang berasal dari Pesia dan berbicara bahasa Turki serta memahami bahasa Sanskerta, Persia, Ibrani dan Suriah ini menulis sebuah cacatan dengan ilmu astronomi berjudul al-Qanun al-Mus'udi fi al-Hay'ah wa al-Nujum yang ia persembahkan untuk sahabatnya, Mus'ud, putra Mahmud. Pada tahun yang sama, ia menyusun buku tentang rumus-rumus geomatri, aritmatika, astronomi dan astrologi berjudul al-Tafhim li Awa'li Shina'ah al-Tanjim, yang terutama membahas berbagai perhitungan tahun, dan masa hidup bangsa-bangsa silam.
Dalam karya-karyanya itu, al-Biruni mendiskusikan dengan cerdas teori perputaran bumi pada porosnya yang mendukung perdebatan pada masa belakangan, dan menghitung dengan akurat panjang garis lintang dan bujur bumi. Al-Biruni, seorang penganut syi'ah yang cenderung berpaham agnistik, melakukan perjalanan di India, dan tertarik dengan filsafat Hindu. Di antara kontribusi ilmiahnya adalah penjelasan tentang cara kerja air mata melalu prinsip hidrostatis, yang menghasilkan teori bahwa lembah Indus pada awalnya merupakan dasar laut kuno yang dipenuhi bebatuan sedimen, disertai gambaran tentang sejumlah makhluk yang menyeramkan, termasuk apa yang kita sebut kembar siam.
e. Kimia
Tokoh muslim di bidang kimia adalah Jabir ibn Hayyan (Geber), berkiprah di Kufah sekitar tahun 160/776. Setelah ar-Razi (w.925), Jabir adalah tokoh terbesar kedua abad pertengahan. Ia percaya bahwa logam biasa seperti seng, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas dan perak dengan formula misterius, yang untuk membuktikannya ia telah menghabiskan tenaga dan waktu. Ia menyatakan pentingnya eksperimen secara lebih seksama dari para ahli kimia sebelumnya. Beberapa abad setelah kematiannya, dalam pembangunan jalan di Kufah, laboratoriumnya ditemukan kembali, dan di dalamnya ditemukan banyak mangkok dan sebongkah emas. Tradisi kesarjanaan Barat mengakuinya sebagai penemu beberapa formula kimia yang tidak terdapat dalam 22 karya berbahasa Arab yang menyebutkan namanya.
Beberapa karya Jabir yang terkenal adalah: Kitab az-Zi'baq as-Syarqi (air raksa timur), Kitab at-tajmi' (buku tentang konsentrasi), Kitab ar-Rahmah (buku tentang cinta). Ratusan karya ilmiah Jabir belakangan banyak diklaim sebagai karya dengan nama orang lain, namun para ilmuan di Eropa maupun Asia mengakui bahwa itu adalah karya Jabir. Jabir menggambarkan secara ilmiah dua operasi utama kimia: kalnikasi dan reduksi kimiawi. Ia memperbaiki metode penguapan, sublimasi, peleburan, dan kristalisasi. (Phlip K. Hitti, 2005: 476).
f. Sejarah dan Historiografi
Buku sejarah yang pertama kali ditulis oleh penulis muslim adalah Sirah Nabawiyah (riwayat hidup Nabi Muhammad Saw.) oleh Ibn Ishaq (W. 150/767) dari Madinah. Buku selanjutnya adalah tentang peperangan berjudul Maghazi karya Musa ibn Uqbah (W.758) dan al-Waqidi (W. 822), disusul kemudian Futuh al-Misr wa Akhbaruha karya Ibn Abdil Hakam (W. 251/870) dari Mesir. Buku ini membahas penaklukan Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol. Karya serupa ditulis oleh Ahmad ibn Yahya al-Balazuri (w. 279/892) berjudul Futuh al-Buldan dan Ansab al-Asyraf. Buku ini menceritakan penaklukan kota-kota dan negeri-negeri secara lebih komprehensif ke dalam satu kesatuan monograf, berbeda dengan tulisan sebelumnya yang terpisah-pisah.
Penulisan buku sejarah agak lebih sistematis dilakukan oleh Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir at-Tabari (224-310/838-922) dari Thabaristan pantai Selatan Laut Kaspia Persia. Bukunya yang termasyhur Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk. Karya ini menjadi sumber sejarah utama bagi penulis sejarah berikutnya seperti ibn Miskawaih, ibn al-Asir, dan Abu al-Fida'. At-Tabari menyusun sejarah secara kronologis, dimulai sejak diciptakannya alam semesta Sampai tahun 302/915. Karya ini menggunakan metode sanad hadis, yaitu berpegang pada kebenaran sumber berita tanpa penilaian terhadap sumber berita tersebut. Buku sejarah karya at-Tabari yang ditemukan dan diterbitkan dewasa ini dinilai hanya sebagian kecil saja yang diketemukan. Sebagian besarnya banyak yang hilang.
Penulis berikutnya adalah Abu al-Hasan Ali al-Mas'udi, dijuluki Herodotus Arab, karyanya berjudul Muruj az-Zahab wa Ma'adin al-Jauhar (ladang emas dan tambang batu permata), ditulis dengan metode topik per topik, berbeda dengan penulis sebelumnya at-Tabari secara kronologis. Disebut Herodotus Arab karena dalam menulis buku sejarahnya, al-Mas'udi mendasarkan pada fakta-fakta hasil pengamatan lawatannya secara langsung ke beberapa wilayah seperti Bagdad, hampir seluruh Asia sampai Zanzibar. Al-Mas'udi wafat tahun 346/957 di Fustat. Pada masa at-Tabari dan al-Mas'udi inilah penulisan buku sejarah mencapai puncak kejayaannya.
g. Teologi
Pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah, perbincangan teologi berkisar pada kelompok rasional diwakili Mu'tazilah dengan tokohnya Wasil ibn Atha' (80-132 H/699-749 M). Mu'tazilah melihat bahwa akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Kelompok ini mendapat angin segar ketika pada masa kekhalifahan al-Makmun (813-833 M) dijadikan sebagai anutan resmi negara, yang berimplikasi pada pemaksaan bagi masyarakat untuk menganut paham Mu'tazilah, sebaliknya jika tidak mau, maka akan dikejar-kejar dan disiksa. Namun pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil (232/847-247/861) menarik dukungan terhadap Mu'tazilah untuk beralih ke Sunni.
Tokoh-tokoh Ahlussunnah wa al-Jamaah adalah ulama Mesir Ahmad ibn Ja'far at-Thahawi (w.331 H/947 M) yang menulis kitab Bayan as-Sunnah wa al-Jamaah. Di Samarkand muncul Abu al-Mansur al-Maturidi (w. 333/944) yang melahirkan aliran Maturidiyah. Di Iraq bangkit aliran Asy'ariyah dimotori oleh Abu Hasan al-Asy'ari (w. 324/935). Pada mulanya Abu Hasan al-Asy'ari adalah murid tokoh Mu'tazilah al-Jubba'i, yang juga bapak tirinya. Bagi al-Asy'ari, masalah teologi tidak bisa dipecahkan hanya dengan akal saja, apalagi menyangkut hal-hal gaib. Dalam karyanya Kitab al-Ibanah Ii Usul ad-Diyanah, dia menjelaskan posisi dan metodenya yaitu, berpegang pada Al-Qur'an, as-Sunnah, penjelasan-penjelasan yang diberikan pada para sahabat, tabi'in dan ahli hadis, dan pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal (Nourouzzaman Shiddiqi, 1986: 55). Setelah al-Asy'ari wafat tahun 324/935, muncul tokoh-tokoh generasi penerus antara lain, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505/1111) seorang teolog kenamaan, bukunya yang paling terkenal adalah Ihya Ulumu ad-Din. Di samping teolog, al-Ghazali juga seorang filosof.
h. Hadis
Hadis diperlukan untuk menafsirkan sumber hukum pertama Al-Qur'an, dan merupakan sumber hukum kedua. Pada mulanya, hadis diriwayatkan secara lisan, baru dikodiflkasi di penghujung tahun 99 H. Pada masa Abbasiyah muncul beberapa ahli hadis yaitu, Al-Bukhari (W. 257 H/870 M), diceritakan mengumpulkan 600.000 hadis, 7.397 diantaranya dianggap sahih. Pada abad ke-3 H/9 M lahir enam kitab kumpulan hadis yang terkenal dengan Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadis), yaitu Sahih al-Bukhari oleh Al-Bukhari (w. 256 H/870 M), Sahih Muslim oleh Muslim (W. 261 H/875 M), Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (w. 273 H/886 M), Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (w. 275 H/888 H), Jami' at-Turmuzi olehat-Tarmizi (w. 279 H/892 M), Sunan an-Nasa'i (w. 303 H/915 M). Dari semuanya itu, kodifikasi al-Bukhari dianggap paling otentik menyusul kodifikasi Muslim, dan kedua-duanya kemudian disebut as-Sahihain (dua yang otentik).
i. Fiqh/Hukum Islam
Bibit-bibit yang ditabur oleh kelompok cekdikiawan, dipimpin oleh Abdullah ibn Umar yang menarik diri dari pertikaian politik untuk lebih fokus ke masalah ilmiah telah membuahkan hasil, baik pada masa Dinasti Bani Umayyah maupun Dinasti Bani Abbasiyah. Pada masa Dinasti Bani Abbasiyah, Pengembangan berbagai cabang keilmuan, termasuk hukum Islam mendapat porsi yang sama. Pemikiran tentang pengembangan hukum Islam sangat diperlukan mengingat banyak masalah-masalah hukum sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat waktu itu yang semakin kompleks.
Semua mazhab-mazhab hukum yang ada jika ditinjau dari sistem, metode, Pendekatan, dan prinsip hukum yang mereka gunakan terhimpun pada dua arus. Pertama, menganut sistem tradisional, yaitu menyandarkan Sumber hukum dari dalil-dalil naqli, dipelopori oleh Malik ibn Anas di Hijaz. Kedua, menganut sistem rasional yaitu lebih banyak memakai rasio (ra'yu), dipelopori oleh Abu Hanifah di Iraq. Namun demikian, terdapat empat mazhab yang paling populer sampai sekarang, dikenal dengan al-Mazahib al-Arba'ah (empat mazhab), yaitu:
1) Hanafi.
Nama lengkapnya An-Nu'man ibn Tsabit Abu Hanifah (w. 150/767). Pengarang kitab Fiqh Akbar. Instrumen pokok yang dipergunakan dalam membangun hukum adalah ra'yu (penalaran) dan qiyas (analogi). Ia lebih menyandarkan langsung kepada Al-Qur'an, tidak kepada hadis, setelah itu baru ra'yu dan qiyas. Prinsip hukumnya adalah istihsan, qiyas berdasarkan keadilan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah berpikiran liberal.
2) Maliki.
Nama lengkapnya Malik bin Anas (W. 179/795). Karyanya yang monumental adalah Kitab al-Muwaththa'. Dia adalah praktisi hukum, dan menjabat sebagai qadi di Madinah. Hidup di masa generasi setelah sahabat, maka sumber hukum yang dipergunakan adalah Al-Qur'an, as-Sunnah, dan Ijma' (consensus ulama). Malik bin Anas berpendapat bahwa konsensus ulama Madinahlah yang dipergunakan sebagai sandaran, karena mereka langsung bertanya kepada para khulafaurrasyidin. Prinsip hukum mazhab ini adalah Maslahat Mursalah (kemaslahatan umum).
3) Syafi'i.
Nama lengkapnya Muhammad ibn Idris as-Syafi'i (w. 205/820), penulis kitab Al-Umm. Dia belajar pada Imam Malik di Madinah, aktivitasnya berkembang di Bagdad, kemudian di Cairo. Imam Syafi'i melihat perbedaan kehidupan antara Hijaz dan Iraq, karena itu ia mengambil posisi jalan tengah antara kondisi tersebut. Dia menawarkan sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Sunnah menurutnya terbatas pada ucapan, perbuatan, dan taqrir/keputusan Nabi saja, jadi tidak termasuk semua tradisi penduduk Madinah. Menurutnya, ijma' ulama juga bukan hanya ulama Madinah, dan ra'yu bukan seperti dipersepsikan oleh Abu Hanifah, tetapi harus bersumber pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Mazhab Syafi'i banyak mendapat pengikut di Mesir, Afrika Timur, Palestina, Arab Timur, India, Malaysia dan Indonesia.
4) Hanbali.
Nama lengkapnya Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855). Walau ia pernah berguru pada ImamSyafi'i, tetapi tidak sependapat dalam hal penggunaan ra'yu walau dalam bentuk qiyas. Dia menolak Mihnah (pemeriksaan paham pribadi) walau dirantai khalifah Al-Makmun dan dipenjarakan oleh Al-Mu'tashim. Karyanya yang terkenal adalah Musnad, memuat 28.003 hadis dalam enam jilid. Mazhab ini berkembang di Saudi Arabia.
j. Tafsir
Pelopor ilmu tafsir adalah Abdullah ibn Abbas dan ibn Mas'ud, kemudian dilanjutkan oleh as-Suday (W. 127 H), dan Maqatil ibn Sulaiman (w. 150 H). Karya-karya tafsir lama tersebut hilang. Karya tafsir klasik yang bisa diketemukan sampai sekarang adalah Tafsir at-Tabari. At-Tabari sebenarnya adalah ahli tafsir, karyanya di bidang sejarah dimaksudkan sebagai pelengkap buah karya tafsirnya. Tafsir at-Tabari diterbitkan di Kairo dalam 30 jilid, masing-masing jilid setebal Al-Qur'an. Tafsir at-Tabari termasuk tafsir bi al-Ma'sur, yaitu tafsir yang disandarkan kepada sunnah nabi, para sahabat dan tabi'in.
Pada masa Dinasti Bani Abbasiyah, tafsir metode bi al-Ma'sur ini kurang mendapat tempat, karena pada masa itu pernah dipaksakan paham Mu'tazilah yang cenderung menggunakan akal. Maka, muncul pula tafsir bi ar-Ra'yi (nalar) yang sejalan dengan Mu'tazilah antara lain Tafsir Abi Bakar al-Asam (W. 230 H), dan tafsir Ibn Jarwi al-Asadi (W. 387 H).
2. Kebudayaan Fisik
Arsitektur Bangunan
Pada mulanya banyak pembangunan monumental yang didirikan para penguasa Abbasiyah. Pendiri kota Bagdad membangun istana khalifah yang disebut gerbang emas (babu az-zahab) atau kubah hijau (al-qubbah al-khadhra'), istana Rusafah untuk putra mahkota, al-Mahdi, istana as-surayya yang dibangun al-Mu'tadhid (892-932) dengan menghabiskan biaya 400.000 dinar, dia juga membangun istana peristirahatan yang mengikuti model mahkota (at-taj), disempurnakan kemudian oleh anaknya al-Muktafi (902-908). Saat ini susah mendapatkan jejak monument peninggalan arsitektur tersebut, semuanya mengalami kerusakan ketika terjadi perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun, dan semuanya hancur total ketika Hulagu Khan menyerang Bagdad pada tahun 1258 M.
Di luar kota Bagdad, terdapat kota dan masjid Samarra yang dibangun oleh Khalifah al-Mu'tashim (833-842), dan diteruskan oleh putranya al-Mutawakkil (847 -861) dengan menghabiskan dana 700.000 dinar, berbentuk persegi empat dengan bentuk jendela yang melengkung dan dilapisi timah. (Philip K. Hitti, 2005: 525).
Seni kaligrafi juga sangat berkembang penting pada zaman Abbasiyah. Kedudukan para kaligrafer juga mendapat penghargaan tinggi, melebihi para pelukis. Kedudukan mereka semakin tinggi sebab para penguasa Dinasti Bani Abbasiyah berusaha mendapatkan kemuliaan agama dengan cara memperindah tulisan kaligrafi Al-Qur'an di rumahnya. Di antara tokoh kaligrafi adalah ar-Raihani (W. 834), yang mengembangkan seni kaligrafi masa al-Makmun dan menyempurnakan gaya kaligrafi raihan, sesuai dengan namanya. Kaligrafer yang muncul pada zaman terakhir Dinasti bani Abbasiyah adalah Ya'quth al-Mu'tashimi (W. 1022), penemu gaya kaligrafi ya'quti. Karyakarya Ya'quth dinilai mempunyai nilai yang tinggi, dan bisa dilihat warisannya sampai sekarang. Bisa dikatakan bahwa karya-karya kaligrafi adalah warisan seni Islam yang produknya sampai saat ini, bisa dilihat di Konstantinopel, Damaskus, Beirut, Bagdad, dan kota-kota besar Islam lainnya.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan masa Dinasti Bani Abbasiyah dipelopori oleh para pemimpinnya. Berikut ini akan dikemukakan beberapa tokoh beserta perannya masing-masing:
- Abdullah al-Makmun adalah tokoh yang sangat tertarik pada ilmu pengetahuan, filsafat dari tradisi Helenistik. Melalui kebijakan dan suntikan dana, ia memberi dorongan kuat kepada kaum intelektual untuk menerjemahkan karya-karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab. Beliau mendirikan akademi yang berfungsi menunjang aktifitas penerjemahan. Ia juga tokoh di bidang pembauran, dan banyak mengambil unsur-unsur asing, seperti orang Parsi, Turki, Berber dan non-Arab lainnya.
- Harun ar-Rasyid adalah tokoh pemerhati ilmu pengetahuan dan tidak segan-segan memakai unsur Parsi dalam masalah sosial dan kenegaraan.
- Al-Khayzuran, ibu Harun, istri al-Mahdi, Ulayyah anak perempuan al-Mahdi; Zubaidah, istri ar-Rasyid, ibu al-Amin; Buran, istri al-Makmun, mereka adalah tokoh-tokoh yang memperjuangkan emansipasi wanita dan mereka sangat berpengaruh di lingkungan istana. Tokoh dari masyarakat umum adalah Ubaidah at-Thunburiyah yang pada al-Mu'tasim sebagai penggubah syair, biduanita dan musisi yang cantik dengan suara yang merdu.
Komentar
Posting Komentar