Langsung ke konten utama

Faktor-faktor Kemunduran dan Kejatuhan Dinasti Bani Abbasiyah

Kekuasaan Dinasti Saljuk atas Dinasti Bani Abbasiyah berakhir setelah kematian Maliksyah (1072-1092). Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, sehingga banyak sekali dinasti-dinasti Islam yang berdiri secara independen. Pada masa inilah, Dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran. Terdapat faktor internal dan eksternal yang disinyalir menjadi penyebab kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah sebagai berikut:

1. Internal 

Wilayah pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah sangat luas meliputi barat sampai samudera Atlantik, di sebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan di utara dari Laut Kashpia sampai keselatan Teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan Wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para khalifah yang lemah dan tidak terampil. Di samping itu, pada saat itu boleh dikatakan sistem komunikasi masih sangat lemah dan belum maju, sehingga menyebabkan adanya kendala komunikasi apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan, yang secara politis harus cepat diselesaikan atau dicari-kan jalan keluarnya. Karena itu, terjadilah banyak Wilayah lepas dan berdiri sendiri secara independen. Setelah Khalifah al-Makmun, Dinasti Bani Abbasiyah sudah mulai mengalami kemunduran. Sementara itu, jauhnya wilayah-wilayah kekuasaan Abbasiyah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian didorong oleh kondisi para khalifah yang lemah, malas, berfoyafoya, minum-minuman keras, lebih mementingkan kehidupan duniawi, ditambah lagi dengan adanya intervensi beberapa kelompok kesukuan yang tidak lagi bisa dikendalikan para khalifah yang lemah.

Ketiadaan suatu sistem dan mekanisme pergantian putra mahkota yang baku, menyebabkan sering terjadi gonta-ganti putra mahkota di kalangan istana dan terbelahnya suara di internal istana yang seringkali tidak bersatu dalam penetapan putra mahkota pengganti khalifah. Ketidakpastian ini menyebabkan konflik internal, bahkan terjadi perebutan kursi kekhalifahan. Hal ini dibuktikan dengan kejadian perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun. Di samping itu, sering terjadi konfiik antara tentara istana, dan elit politik lain, juga memicu kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah. Konflik ini berakar dari masalah kesukuan yang tidak kunjung selesai antara Arab, Persia, dan Turki. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang berbasis kesukuan adalah bukti nyata tidak kunjung selesainya masalah kesukuan. Konflik ini kadangkala ditarik ke persoalan-persoalan pemikiran agama, yang berujung pada pertumpahan darah. Akibat dari beberapa persoalan tersebut, maka terjadi kemerosotan perekonomian, yang berujung pada berkurangnya kesejahteraan sosial masyarakat, berkurangnya pajak sebagai penopang pembiayaan negara, dan pada akhirnya negara menjadi lemah.

2. Eksternal 

Faktor eksternal yang memicu runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah adalah serangan pasukan Tartar pada tahun 656/1258 ke kota Bagdad. Hulaghu Khan panglima Tartar disinyalir sangat dibantu oleh Mu'ayyad ad-Din Muhammad al-Alqami, menteri dan wazir Khalifah al-Musta'shim (640-656/1242-1258). Al-Alqami menginformasikan kepada Hulaghu Khan kondisi semakin lemahnya Dinasti Bani Abbasiyah. Ketika Hulaghu Khan masuk ke kota Bagdad yang memang sudah lemah, maka dengan mudah dia dapat menaklukkan kota itu. Ibnu Kasir mengatakan, “Pada tahun 656/1258 pasukan Tartar berjumlah sekitar 200.000 merebut kota Bagdad dan membunuh khalifah serta penduduk yang ditemuinya. Jumlah umat Islam yang terbunuh sekitar 800.000 orang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah di Bagdad (Qasim A. Ibrahim, 2014: 458-461).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan