Langsung ke konten utama

Dampak Dinasti Bani Abbasiyah Pada Kemajuan Peradaban Islam

Perkembangan sosial budaya pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah tentu saja berdampak pada perkembangan umat Islam. Di antara dampak yang terlihat adalah dengan semakin luasnya wilayah taklukan Dinasti Bani Abbasiyah secara otomatis semakin kompleks pula penduduk. Banyaknya penduduk asli yang pindah ke agama Islam, dan digunakannya bahasa Arab sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Perubahan ini mempunyai nilai positif karena menambah warga Muslim, tetapi juga mempunyai sisi negatif dengan direkrutnya mereka ke dalam sistem kenegaraan seperti menjadi wazir dan tentara yang mengakibatkan banyak orang Arab iri, dan menimbulkan persoalan disintegrasi bangsa karena sentimen kesukuan.

Di samping itu, posisi warga non muslim pada pemerintahan Islam juga mengalami kebebasan yang berarti. Mereka yang berada di pedesaan adalah mayoritas petani, sedangkan yang berada di perkotaan di samping sebagai pedagang, tetapi juga banyak yang duduk di pemerintahan. Hal ini menyebabkan kecemburuan dari komunitas Islam. Sepanjang masa Dinasti Abbasiyah, orang Kristen menikmati kebebasan agama yang relatif besar. Khalifah al-Muttaqi (940-944 M) mempunyai wazir beragama Kristen, sejumlah dokter istana beragama Kristen Nestorian, sejumlah penerjemah pada masa alMakmun juga ada yang beragama Kristen. Komunitas beragama Yahudi juga mengalami kebebasan yang sama dengan yang dinikmati orang Kristen, orang Yahudi kebanyakan sebagai tukang tukar uang dan bankir di Suriah.

Di bidang ekonomi, Dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemajuan yang sangat memuaskan. Banyak milioner termashur seperti Ibn al-Jasysyash Yang tetap menjadi orang kaya walaupun al-Muqtadir telah menyita hartanya 16 juta dinar. Rumah para pedagang sangat elit mulai 10 ribu dinar, 30 ribu dinar, bahkan 4 juta dinar. Terdapat banyak industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di mana-mana. Wilayah Asia Barat menjadi pusat kerajinan kapas, sutra, karpet, wol, sofa, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

Sebelum akhir abad ke-8 M, Bagdad telah memiliki pabrik kertas pertama, kemudian disusul dengan daerah-daerah lain seperti Mesir (tahun 900 M), Maroko (tahun 1100 M), Spanyol (1150 M). Dari Spanyol, pabrik kertas kemudian diadopsi oleh negara-negara Eropa lain di Eropa abad modern. Pabrik kertas ini sangat membantu para cendikiawan dalam menulis buah pikiran mereka.
Pertanian juga sangat maju pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah. Beberapa lahan subur di Bagdad, Mesir, Syiria, Irak, Khurasan, Bukhara dan lain-lain ditanami tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran, seperti gandum, padi, kurma, kapas, Wijen. Komoditas ini sangat besar sehingga secara langsung dapat meningkatkan taraf ekonomi rakyat, memberi peluang kerja bagi petani dan para pedagang serta menyumbang pajak terbesar bagi negara. Keadaan ekonomi yang membaik bukan berarti berimplikasi positif bagi kehidupan masyarakat, tetapi sebagian masyarakat cenderung hidup mewah seperti minum-minuman beralkohol dalam jamuan pesta malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan