Langsung ke konten utama

Berdirinya Dinasti Bani Abbasiyah

Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung selama hampir lima setengah abad atau 524 tahun (132-656 H/750-1254 M). Pemimpin pertama Dinasti Bani Abbasiyah adalah Abdullah Abu al-Abbas as-Saffah yang memerintah antara tahun 132-136 H/750-754 M. Disebut Dinasti Bani Abbasiyah karena dinisbatkan kepada Abbas ibn Abdul Muthalib, salah seorang paman Nabi Muhammad Saw. Sejarawan mencatat bahwa Abbas ibn Abdul Muthalib yang hidup di masa Rasulullah tidak pernah menunjukkan ambisi politiknya. Anaknya bernama Abdullah ibn Abbas mewarisi karakter ayahnya, kurang begitu berminat pada masalah politik. Beliau lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat ilmiah, seperti menekuni belajar hadis, sehingga dikenal sebagai salah seorang ahli hadis terkemuka di Hijaz pada abad pertama Hijriyah. Orang-orang di Hijaz menjulukinya dengan as-Sajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak melaksanakan sujud ketika salat wajib maupun sunnah. Di samping itu, Abdullah juga dijuluki sebagai dzu an-nafathat yang artinya orang yang bertanda di dahinya sebab banyak bersujud.

Usaha mendirikan Dinasti Bani Abbasiyah berawal dari anak Abdullah bernama Ali ibn Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib. Ali ibn Abdullah ibn Abbas mempunyai hubungan baik dan sering berkunjung ke istana Dinasti Bani Umayyah di Damaskus, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M). Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik (7 05715 M) memberinya hadiah daerah Hamimah di Syam berdekatan dengan kota Damsyik (Prof. Dr. A. Syalabi 3, 2003: 22), kemudian Ali bin Abdullah serta keluarga pindah dari negeri Hijaz ke Hamimah. Penguasa Dinasti Bani Umayyah menaruh kepercayaan kepada Ali, karena itu tidak ada pengawasan khusus kepadanya selama di Hamimah.

Setelah Ali ibn Abdullah wafat (117/735), anaknya yang bernama Muhammad, menggantikan ayahnya. Muhammad dikenal sangat cerdas dan cerdik, bijaksana, bercita-cita tinggi. Dia melihat bahwa kegagalan yang senantiasa dialami golongan Alawiyah (Syi'ah), karena mengikuti imam (pemimpin) tertentu dan jika pemimpin tersebut wafat atau terbunuh, maka sering terjadi konfiik dan perpecahan. Demikian juga, ketika kelompok ini bangkit berperang menuntut jabatan kekhalifahan dari Dinasti Bani Umayyah, ada saja sekelompok dari mereka menarik diri di tengah-tengah pertempuran, pendirian dan ideologi mereka kurang begitu teguh, dan beberapa negeri yang telah dikuasai umat Islam pun tidak semuanya memberi dukungan kepada golongan Alawiyin

Atas dasar pemikiran tersebut, Muhammad bin Ali membuat dasar-dasar Perjuangan Dinasti Bani Abbasiyah sebagai berikut;

  1. Seruan berjuang seharusnya didasarkan pada restu dari kerabat Muhammad, artinya orang yang akan dipilih sebagai khalifah setelah kemenangan seruan Hasyimiyah adalah kerabat Muhammad. Dengan demikian, seruan ini tidak bersifat individual, tetapi atas dasar seruan keluarga Muhammad. Jika suatu ketika terjadi pembunuhan pada siapa pun, maka bisa digantikan oleh keluarga Muhammad. Rakyat umum akan menilai bahwa restu dari kerabat Muhammad tentu dari keturunan Ali, tetapi dalam konsep Muhammad bin Ali tidaklah demikian. Gerakan ini secara lahiriyah kelihatan dijalankan oleh golongan Alawiyah, tetapi pada hakikatnya segala urusan dan arahan dikendalikan dan dikomandani oleh golongan Abbasiyah.
  2. Golongan Hasyimiyah jangan sekali-kali bangkit berperang guna menumbangkan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah sebelum merintis jalan ke arah pemerintahan baru, dan mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh dan secermat mungkin, dengan cara melakukan propaganda, menghasut pemerintahan yang kejam (Umayyah).
  3. Membentuk fraksi poros Hamimah-Kufah-Khurasan, Hamimah sebagai pusat pemerintahan dan penyusunan strategi, Kufah sebagai pusat perhubungan komunikasi di mana para kader Abbasiyah yang membawa perintah dan arahan dari Hamimah bertemu dengan para kader seruan yang pulang dari Khurasan, guna memberi laporan kepada para pemimpin tentang hasil-hasil kegiatan mereka, serta siap menerima arahan dan perintah yang baru, sementara Khurasan juga merupakan pusat kegiatan memperkuat basis tentara (prof. Dr. A. Syalabi, 2003: 23-24).

Hamimah merupakan tempat yang agak dekat dengan Damaskus, karena itu menurut Muhammad, tidak boleh digunakan sebagai pusat kegiatan. Hamimah juga tempat terpencil, terisolasi dengan kota-kota besar lainnya. Kota Kufah berada di pertengahan jalan, jauh dari kota Damaskus, di mana para penduduknya adalah pendukung setia Ahlul Bait, semenjak Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadikannya sebagai ibu kota. Masyarakat Kufah sangat membenci dan terus berseteru dengan Dinasti Bani Umayyah. Sementara penduduk Khurasan merasa dihina oleh Dinasti Bani Umayyah, karena menempatkan mereka pada kelas mawali (pengikut-pengikut) yang derajatnya lebih rendah dari bangsa Arab, padahal menurut mereka sebelum Islam, bangsa Arab derajat, kebudayaan Arab lebih rendah dari Khurasan.

Terdapat dua faktor yang sangat penting sebagai pemicu kesuksesan gerakan Abbasiyah. Pertama; Selama Umar bin Abdul Aziz memerintah (99-101/717-719), posisi golongan Alawiyin sangat bebas. Umar memimpin atas dasar keadilan, persamaan derajat, memihak kaum lemah, dan melindungi minoritas. Situasi ini dimanfaatkan oleh gerakan Abbasiyah untuk secara bebas mengeluarkan pendapat tanpa dihinggapi rasa ketakutan, apalagi pertumpahan darah. Kedua; Abu Hasyim bin Muhammad bin al-Hanifah, pemimpin kelompok Kaisan (kelompok Alawiyah paling terkemuka menentang Dinasti Bani Umayyah) pergi ke Damaskus menghadap Hisyam bin Abdul Malik (105-125/724-743). Ketika Abu Hasyim pulang ke Madinah, di tengah perjalanan Hisyam mengutus seseorang untuk menaruh racun ke dalam susu yang mau diminum Abu Hasyim. Ia merasa kesakitan, dan minta diantar bertemu sepupunya, Ali bin Muhammad di Hamimah. Abu Hasyim berkata kepada Ali bahwa ia telah diracun oleh Hisyam, dan minta Ali terus meneruskan perjuangannya, bahkan ia memintanya memimpin golongan Alawiyin yang dipimpinnya, tidak lama setelah itu ia pun wafat.

Pada mulanya gerakan bawah tanah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tukar informasi terus dilakukan secara intensif dari Khurasan ke Kufah, lalu ke Hamimah. Agar tidak diketahui penguasa Umayyah, para aktivis gerakan ini menyamar sebagai pedagang atau jamaah haji. Pemimpin gerakan di Khurasan bernama Ikrimah as-Siraj. Ia memilih 12 wakil yang semuanya dari suku Arab. Pemimpin gerakan memilih 12 wakil di setiap distrik, dan setiap wakil membawahi 70 orang. Mereka diberi tugas untuk merahasiakan gerakan ini dari Dinasti Bani Umayyah. Namun, gerakan ini diketahui oleh Gubernur Khurasan, Asad ibn Abdillah al-Qasri, kemudian dia menangkap Ikrimah dan membunuh semua anggota gerakan (107/726). Setelah peristiwa itu, gerakan Abbasiyah berjalan dengan lamban.

Muhammad bin Ali wafat pada tahun 125/743 bertepatan dengan tahun wafatnya Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Sebelumnya ia berwasiat agar anaknya bernama Ibrahim menggantikannya. Pada tahun yang sama, terjadi konflik internal di kalangan Dinasti Bani Umayyah, antara Gubernur Khurasan waktu itu, Nasr ibn Sayyar, berasal dari suku Qays, sementara penduduk Khurasan mayoritas berasal dari suku Yamani. Gerakan Abbasiyah memanfaatkan konflik ini dengan memihak pada suku setempat (Qays). Pada tahun 128/746, muncullah tokoh Abu Muslim al-Khurasani, salah satu tokoh gerakan bawah tanah Abbasiyah. Tahun 129/747, ia menerima perintah dari Ibrahim bin Muhammad agar mulai melakukan aksi secara terang-terangan. Peperangan pertama antara gerakan Abbasiyah versus Umayyah terjadi di khurasan. Abu Muslim berhasil mengalahkan tentara Gubernur Khurasan Nasr ibn Sayyar. Abu Muslim mendapat dukungan dari penduduk Khurasan.

Mendengar adanya gerakan politik di Khurasan, khalifah Dinasti Umayyah Mengirim 10.000 pasukan di bawah pimpinan Nubata ibn Hanzhalah untuk meredam pemberontakan. Pasukan Khalifah Umayyah dihadang oleh pasukan Abbasiyah dibawah pimpinan Qahthabah ibn Shahib at-Tha'i di Jurjan. Dalam peristiwa tersebut, pasukan Qahthabah berhasil mengalahkan pasukan Nubata ibn Hanzhalah pada bulan Agustus 748 M/130 H. Kemudian Qahthabah terus bergerak menuju Rayy dan tinggal di sana selama lima bulan untuk persiapan serangan berikutnya. Pada bulan Maret 749 M/Rajab 131 H, pasukan Qahthabah kembali berhadapan dengan pasukan Dinasti Umayyah pimpinan Amir ibn Dubara yang berjumlah 50.000 di suatu tempat bernama Jablaq dekat Isfahan. Dalam pertempuran ini tentara Dinasti Bani Umayyah mengalami kekalahan. Qahthabah terus bergerak maju menaklukkan kota Nihawand yang berarti membuka jalan menuju Kufah. Pada tanggal 14 Muharram 132 H/2 September 749 M ia bertemu dengan pasukan Gubernur Irak Yazid ibn Hubairah di perbatasan kota Kufah. Dalam pertempuran ini, tentara Dinasti Bani Umayyah lagi-lagi dapat dikalahkan oleh pasukan Qahthabah.

Setelah Qahthabah berhasil memasuki kota Kufah, Abu Salamah al-Khallal segera diangkat sebagai menteri (wazir) Ahlu Bait, tugasnya memimpin administrasi pemerintahan sementara. Ia segera mengangkat orang-orang Khurasan menduduki berbagai jabatan administrasi. Gaji tentara juga dinaikkan dari 30-dirham setahun menjadi 80 dirham per bulan. Sementara itu Abu Muslim al-Khurasani terus memperkuat posisinya di Khurasan. Di Merv ia mengirimkan beberapa pasukan kecil untuk menaklukkan kota-kota kecil di sekitar Khurasan, seperti Balkh dan Tirmidz.

Di tengah berkecamuknya perang terbuka antara tentara Umayyah dengan Abbasiyah, Khalifah Marwan mengutus pasukan guna menangkap Ibrahim pemimpin Abbasiyah di Hamimah. Tentara Umayyah berhasil menangkap dan memenjarakan Ibrahim di Heart, selanjutnya ia meninggal di penjara pada bulan Muharram 132 H/Agustus 749M. Sebelum meninggal ia berwasiat agar penggantinya kelak adalah Abu al-Abbas Abdullah ibn Muhammad yang tidak lain adalah adiknya sendiri. Namun, Abu Salamah al-Khallal sepertinya kurang setuju dengan pengangkatan Abu al-Abbas tersebut. Maka ia pun secara diam-diam menawarkan jabatan pimpinan gerakan Abbasiyah ini kepada keturunan Ali ibn Abi Thalib, yaitu Ja'far Shadiq, Abdullah ibn Hasan, dan Umar ibn Ali ibn Hasan. Namun, ketiga tokoh Syi'ah menolak karena tidak mau terlihat lebih jauh dengan urusan politik.

Sementara itu Abu Muslim al-Khurasani yang sudah merasa mapan kekuasaannya di Khurasan segera berangkat menuju Kufah untuk bergabung bersama Abu Salamah al-Khallal. Setelah tinggal selama dua bulan di Kufah ia dengan tidak sabar segera menemui Abu al-Abbas Abdullah ibn Muhammad di kota Hasyimiyah dan mendukungnya sebagai amir al-Mukminin (pemimpin umat Islam). Maka pada tanggal 12 Rabi'ul Akhir 132 H/28 Nopember 749 M Abu al-Abbas dibawa ke Masjid Kufah dan secara resmi diumumkan sebagai khalifah pertama dari Dinasti Bani Abbasiyah. Abu al-Abbas berpidato di atas mimbar hanya sebentar karena sedang sakit demam. Pidatonya dilanjutkan oleh pamannya yang bernama Dawud ibn Ali. Abu al-Abbas mengatakan bahwa keluarga Abbas mempunyai hak untuk memegang tampuk pemerintahan Islam.

Langkah pertama yang dilakukan Abu al-Abbas setelah dilantik menjadi khalifah adalah menyiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan khalifah Dinasti Bani Umayyah terakhir, Marwan ibn Muhammad. Pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Marwan ibn Muhammad terjadi di tepi Sungai Zab pada bulan Jumadil Akhir 132 H/Januari 750 M. Tentara Abbasiyah dipimpin Abdullah ibn Ali, paman Abu al-Abbas. Sedangkan tentara Umayyah dipimpin sendiri oleh Khalifah Marwan ibn Muhammad dengan jumlah yang sangat besar. Namun, sebagian besar tentara itu melarikan diri sebelum berperang karena mendengar bahwa tentara Abbasiyah itu tidak pernah kalah. Akhirnya dengan tersisa 12.000 orang tentara Marwan ibn Muhammad bertempur melawan tentara Abdullah ibn Ali. Setelah melihat bahwa pasukannya menderita kekalahan, Marwan pun mundur menyeberangi Sungai Tigris menuju ke kota Harran, tetapi karena terus dikejar ia pergi menuju ke ibu kota Damaskus melalui Qinasrin. Ternyata ibukota Damaskus sudah tidak dalam kekuasaannya sehingga ia pun lari menuju Mesir.

Setelah menaklukkan Damaskus, Abdullah ibn Ali mengirim pasukan dipimpin oleh adiknya Shalih ibn Ali dan Abu Aun untuk terus mengejar Marwan. Di Mesir, Marwan ibn Muhammad berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari jejak. Ia pun sampai di suatu daerah bernama Bushir. Ketika tentara Dinasti Bani Abbasiyah berhasil mengejar Marwan di Bushir, ia bersembunyi di gereja. Para pengawalnya terus berusaha melawan namun sia-sia karena kekuatannya tidak seimbang. Akhirnya Marwan ibn Muhammad pun mati terbunuh di tempat tersebut pada awal Agustus 750 M. Dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah, dan awal dimulainya Dinasti Bani Abbasiyah. Gerakan Politik Dinasti Bani Abbasiyah memerlukan waktu selama 50 tahun, dan kesuksesannya tidak lepas dari bantuan golongan Syi'ah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pusat Peradaban Masa Dinasti Bani Abbasiyah: Bagdad

Sejarah mencatat bahwa Bagdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbasiyah merupakan kota dengan peradaban tingkat tinggi, khususnya zaman keemasan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Pada saat itu, Bagdad muncul sebagai pusat dunia dalam segala aspeknya dengan kemakmuran dan peran internasional yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan bahwa Bagdad menjadi satu-satunya saingan kerajaan Byzantium. Kejayaannya seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibu kotanya. Saat itulah, Bagdad menjadi kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia (Philip K. Hitti: 375). Setelah Bagdad, terdapat dua kerajaan Islam yang juga mengalami kemajuan, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Bani Umayyah di Andalusia Spanyol. Di Bagdad terdapat bangunan istana kerajaan sangat megah, di dalamnya terdapat ruangan untuk para harem, pembantu laki-laki yang dikebiri, dan pejabat-pejabat khusus, menempati sepertiga dari kota lingkaran itu. Bagian Yang paling mengesankan adalah ruang pertemuan yang dilengkapi de

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa