Langsung ke konten utama

Meneladani Khalifah Ali bin Abi Thalib


Ibnu Asakir meriwayatkan dari Hasan, ia mengemukakan, ketika Ali datang ke kota Basrah, Ibn Al-Qawwah dan Qais bin Ibad bertanya kepadanya, ceritakanlah kepada kami perjalanan kekhalifahan yang engkau alami di mana engkau menjadi pemimpin umat, sementara mereka saat ini saling bertikai. Apakah engkau menerima wasiat dari Rasulullah untuk menjadi khalifah Sesudahnya, sampaikanlah kepada kami karena kami mencintaimu!.

Ali menjawab, tentang apakah saya menerima wasiat dari Rasulullah untuk menjadi khalifah setelah beliau, saya tidak pernah menerimanya. Demi Allah, saya adalah termasuk orang pertama menerima kebenaran misi beliau, maka tidak mungkin saya menjadi orang pertama yang mendustakannya. Jika saya menerima wasiat dari Rasulullah, maka saya tidak akan membiarkan Abu Bakar dan Umar berdiri di atas mimbar Rasulullah. Kalau saya menerima wasiat dari beliau, maka pasti keduanya akan saya perangi dengan tangan saya sendiri sekalipun saya tidak mempunyai senjata kecuali selendang saya ini. Rasulullah tidak dibunuh dan tidak mati secara mendadak. Ketika beliau sakit selama beberapa hari, beliau menyuruh Abu Bakar agar menjadi imam salat, sementara beliau tahu di mana saya. Salah seorang istri beliau meminta agar tidak menyuruh Abu Bakar sebagai imam salat, namun beliau marah seraya mengingatkan: kalian sama seperti wanita-wanita pada zaman Nabi Yusuf, suruhlah Abu Bakar menggantikan saya sebagai imam salat.

Ketika Rasulullah wafat, kami berfikir bagaimana seharusnya menangani persoalan umat ini, maka kami memilih untuk urusan dunia kami, orang yang telah kami pilih untuk urusan agama kami. Salat adalah inti ajaran agama Islam. Oleh sebab itu kami membai'at Abu Bakar. Beliau memang pantas untuk menyandang jabatan tersebut. Tidak seorang pun dari kami yang berselisih tentang kepatutan Abu Bakar menyandang jabatan khalifah. Saya penuhi semua hak Abu Bakar, saya patuhi segala perintahnya, saya berperang bersama pasukannya. Saya menerima kalau ia memberi, saya berperang jika ia memerintah saya untuk berperang. Saya melaksanakan hukuman bagi mereka yang melanggar hukum Islam dengan cambuk saya.

Ketika Abu Bakar wafat, Umar terpilih sebagai penggantinya. Umar memerintah dengan cara seperti yang dilakukan oleh pendahulunya. Ia menjalankan apa yang telah menjadi keputusannya. Kami membai'at Umar dan tidak ada seorang pun yang tidak menyetujuinya. Saya menghormati Umar, semua perintahnya saya taati, saya berperang bersama tentaranya. Saya mengambil apa yang ia beri. Saya berperang ketika ia memerintahkan untuk berperang. Saya menjalankan hukuman kepada siapa saja yang melanggar hukum dengan cemeti saya.

Ketika Umar wafat, saya ingat betapa dekatnya saya dengan Rasulullah, tentang saya sebagai orang yang tergolong pemeluk Islam pertama, dan keutamaan-keutamaan yang saya miliki. Saya mengira bahwa khalifah tidak akan lepas dari tangan saya, tetapi Umar khawatir kalau khalifah yang datang sesudahnya tidak melakukan kesalahan, kecuali dosanya akan dibebankan kepadanya saat dia berada dalam kubur. Maka Umar tidak menyerahkan kepada putranya. Kalaulah didasarkan pada rasa cintanya, pastilah dia akan menjadikan putranya sebagai penggantinya. Akhirnya dia menyerahkan urusan kekhalifahan sesudahnya kepada enam orang dari kalangan Quraisy.

Ketika enam orang tersebut kumpul, saya masih mengira bahwa kekhalifahan akan jatuh ke tangan saya. Abdurrahman bin 'Auf mengambil sumpah setia dari kami agar mendengar dan taat terhadap siapa pun yang akan menjadi khalifah. Lalu dia memegang tangan Utsman dan membai'atnya. Maka saya renungi diri saya, ternyata kepatuhan saya telah mendahului bai'at saya, sementara janji setia (untuk) saya telah diambil untuk orang lain. Kami pun membai'at Utsman. Apa saja yang mejadi hak dia saya penuhi. Saya patuh kepadanya, saya berperang bersama tentaranya, saya mengambil manakala dia memberi, saya berperang manakala dia menyuruh untuk berperang dan saya menegakkan hukum dengan cambuk saya kepada setiap pelaku pelanggaran. Ketika Utsman mati terbunuh, saya merenung, ternyata dua orang yang menjadi khalifah karena mendapat wasiat dari Rasulullah telah meninggalkan kita, sementara khalifah yang telah diambil sumpahnya juga telah dibunuh. Setelah itu, saya dibai'at oleh penduduk Mekah, Madinah, kemudian kota Basrah dan Kufah. Kemudian seseorang yang tidak sama dengan saya, keluarganya juga berbeda dengan keluarga saya, ilmu tidak sama dengan ilmu saya, dan masuk Islamnya juga tidak sama dengan saya, loncat mengambil posisi khilafah, padahal saya lebih berhak untuknya dibanding dia.

Sikap khalifah Ali terhadap para khalifah sebelumnya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang negarawan, lebih mementingkan kemaslahatan umat dibanding ego pribadi, sabar dan pemaaf terhadap para musuh-musuhnya. Karakter tersebut patut ditiru oleh para pemimpin di mana pun dan kapan pun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M)

Nama lengkapnya adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandy , diperkirakan lahir di Samarkand Uzbekistan Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Beliau mempunyai hubungan kerabat dengan Maulana Ishak, seorang ulama ternama di Samudera Pasai yang merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ishak dan Ibrahim adalah anak ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubra, yang bertempat tinggal di Samarkand. Beliau diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bertempat tinggal di Campa, Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 sampai 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho (Raden Santri).  Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M. Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. sebelum beliau datang, Islam sudah ada, walaupun belum berkembang, ini dibuktikan dengan adany

Pendekatan Dakwah Wali Songo

Kesuksesan walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam bukan serta merta sukses tanpa proses panjang dan perencanaan besar dalam kerangka filosofis. Peleburan diri mereka dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa adalah implementasi kongkritnya. Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah mencatat bahwa metode dakwah islamisasi walisongo melalui beberapa pendekatan, yaitu:  1. Pendidikan  Para wali, pada mulanya mendirikan tempat ibadah/masjid. Masjid waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, tetapi juga sebagai tempat pendidikan agama Islam atau pesantren. Di dalamnya, dengan dipimpin para wali telah banyak berbagai persoalan masyarakat dapat dipecahkan sesuai ajaran Islam. Tidak hanya itu, masyarakat kecil yang buta aksara juga dapat menyentuh dunia pendidikan, mengingat pada saat itu pendidikan hanya dapat dinikmati oleh para keluarga kerajaan. Sunan Ampel misalnya, sangat fokus melakukan dakwah melalui pendidikan dengan membangun pesantren sebagai tempat belajar. Pesa

Sunan Giri (w. 1506 M)

Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku. Nama ini diberikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel sesuai dengan pesan ayahnya sendiri sebelum meninggalkan Jawa Timur. Nama-nama lain Sunan Giri adalah Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata, dan Jaka Samodra; nama ini adalah pemberian ibu angkatnya, ketika beliau masih kecil. Sedangkan mengenai gelar Prabu Satmata sendiri adalah merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugrah Tuhan ketika beliau menjabat sebagai penguasa atau raja di wilayah Giri Gresik.  Sunan Giri lahir di Blambangan Jawa Timur pada tahun 1443 M. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Masa kecil Sunan Giri dibawah asuhan ibu angkatnya yaitu Nyi Ageng Pinatih saudagar kaya dari Gresik. Pada umur 12 tahun, ibu angkatnya membawa Sunan Giri ke pesantren Ampel Denta. Di Ampel, beliau menjadi murid kesayangan Sunan Ampel bersama Sunan Bonang, yang tak lain adalah putra Sunan Ampel sendiri. Beberapa ilmu yang dipelajari Sunan