Berikut ini beberapa kebijakan dan peristiwa penting masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib:
1. Pergantian Pejabat Pemerintahan
Salah satu penyebab utama munculnya reaksi protes dari kalangan pemberontak terhadap Khalifah Utsman adalah ketidaksukaan mereka terhadap kebijakan Utsman mengangkat para pejabat yang berasal dari keluarganya. Terlebih lagi, mereka menganggap bahwa pejabat-pejabat itulah yang telah memicu munculnya gerakan pemberontakan. Oleh karena itu, kebijakan pertama yang diambil Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah melenyapkan bibit reaksi masyarakat, yaitu dengan memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak disenangi kaum muslimin. Berikut ini beberapa nama gubernur yang diangkat sebagai pengganti pejabat di masa Utsman bin Affan:
1. Sahl bin Hanif sebagai Gubernur Syria.
2. Umrah bin Shihab sebagai Gubernur Kufah.
3. Utsman bin Hanif sebagai Gubernur Basrah.
4. Ubaidah bin Abbas sebagai Gubernur Yaman.
5. Qais bin Sa'ad sebagai Gubernur Mesir.
Selain itu, Khalifah Ali juga mengangkat beberapa pejabat sebagai berikut:
1. Abdullah bin Arqam sebagai Pejabat Perbendaharaan Negara (Baitul-Mal).
2. Zaid bin Tsabit sebagai Kepala Sekretariat Negara (Ad-Dawawin).
3. Qutsam bin Abbas sebagai Kepala Daerah (Al-Amil) Makkah AlMukarramah.
4. Tammam bin Abbas sebagai Kepala Daerah (Al-Amil) Madinah Al-Munawwarah.
2. Penarikan Tanah Milik Negara
Selama pemerintahan Utsman bin Affan, banyak para pejabat yang menguasai harta negara. Saat itu, mereka memang diberi beragam fasilitas oleh khalifah. Tidak sedikit dari mereka yang hidup mewah, bergelimang harta benda. Sejalan dengan itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengambil kebijakan untuk menarik semua harta yang dianggap menjadi milik negara. Hal itu sengaja dilakukan oleh khalifah untuk membersihkan pemerintahannya.
3. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Kebijakan Ali bin Abi Thalib dalam bidang ini mencerminkan sedemikian tingginya kecintaan beliau terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Menurutnya, dengan daerah kekuasaan yang semakin luas, tentunya banyak Wilayah yang tidak mengerti bahasa Arab. Padahal ajaran Islam disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab. Kerpihatinan inilah yang kemudian mendorong khalifah untuk mensistematisasikan bahasa Arab. Dalam pelaksanaannya, Abu Al-Aswad Ad-Duali diperintahkan untuk memberikan tanda baca pada huruf-huruf Arab. Selain itu, dia juga diperintah untuk menulis buku yang berisi pokok-pokok pikiran ilmu Nahwu (kaidah bahasa Arab). Dengan demikian, kaum Muslimin yang bukan berasal dari bangsa Arab juga mampu mempelajari Al-Qur'an dan Hadis Rasulullah saw. dengan baik. Untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, Khalifah Ali juga membangun dan menata sebuah kota baru di Kufah. Kota itulah yang akhirnya dijadikan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, seperti Nahwu, Tafsir, Hadis, dan sebagainya.
4. Perang Jamal dan Perang Shiffin
Sepanjang pemerintahan Ali bin Abi Thalib, setidaknya telah terjadi dua kali perang saudara, yaitu:
a. Perang Jamal
Satu tahun setelah Ali menjadi khalifah, terjadi Perang Jamal. Perang ini terjadi pada tahun 36 H/657 M antara pasukan Ali dengan pasukan Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar. Perang ini terjadi karena Aisyah Ummul Mukminin, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, kecewa dengan kebijakan Ali yang tidak kunjung menegakkan hukum syariat Islam, khususnya yang terkait dengan pembunuhan Utsman bin Affan. Mereka menilai bahwa jika hukum ini tidak ditegakkan, maka tragedi serupa akan terjadi di masa yang akan datang. Pasukan Ali berhasil meredam pemberontakan ini, dan Aisyah dipulangkan ke Madinah.
b. Perang Shiffin
Yaitu perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 37 H/658 M, Muawiyah tidak mau membai'at Khalifah Ali, sekaligus menolak pencopotannya sebagai Gubernur Syam oleh Khalifah Ali. Di samping itu, Muawiyah bin Abi Sufyan juga menganggap Ali tidak mampu menegakkan syariat Islam karena tidak mampu menghukum para pembunuh Utsman. Bahkan ia menuduh Ali di belakang tragedi pembunuhan terhadap Utsman. Jika Perang Jamal berhasil dimenangkan Khalifah Ali, akan tetapi Perang Shiffin tidak. Bahkan, perang inilah yang kemudian menjadi akar terbunuhnya Khalifah Ali dan akhir dari kekhalifahannya.
Setelah mempersiapkan pasukannya di dataran Shiffin, Ali masih memberikan kesempatan kepada Muawiyah untuk berunding. Lama berunding, Muawiyah tetap pada pendiriannya. Mereka tidak mau membai'at Ali sebagai khalifah. Sebaliknya, dia menuntut Ali dan para pengikutnya untuk mengangkatnya sebagai khalifah. Perang pun tidak bisa dihindarkan. Masingmasing pasukan bergerak maju untuk saling menyerang. Korban berjatuhan. Sejarah mencatat banyak korban dari pihak Ali dan Muawiyah. Ketika pasukan Muawiyah terdesak, Amr bin Ash menganjurkan berdamai dengan mengangkat Al-Qur'an sambil berseru, “Marilah bertahkim (melandaskan hukum) kepada Kitabullah.” Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan istilah tahkim.
Anjuran untuk berdamai disikapi secara beragam oleh pasukan Ali. Khalifah berketetapan untuk melanjutkan peperangan, sementara sebagian lainnya berkata, “Seandainya mereka sudah meminta bertahkim kepada Kitabullah, apakah layak bagi kita untuk tidak menerimanya?” Atas desakan para sahabatnya, akhirnya Ali menerima ajakan untuk berdamai. Dalam perdamaian tersebut disepakati untuk diadakan perundingan. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, sedang pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari. Dalam perundingan, keduanya sepakat untuk menyuruh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah mundur dari jabatannya masing-masing. Selanjutnya, khalifah akan diputuskan berdasarkan kesepakatan umat Islam. Namun, sebagai seorang yang terkenal cerdas, Amr bin Ash berhasil mengelabuhi Abu Musa Al-Asy'ari. Ia minta Abu Musa Al-Asy'ari berpidato terlebih dahulu karena lebih tua. Abu Musa pun naik ke atas mimbar. Dalam pidatonya, dia menegaskan kemunduran Ali dari kursi kekhalifahan. Setelah itu, giliran Amr bin Ash naik ke atas mimbar. Dalam pidatonya, dia menegaskan persetujuannya terhadap pendapat Abu Musa Al-Asy'ari. Kemudian, Amr bin Ash menyatakan kemunduran Muawiyah bin Abi Sufyan dari kekhalifahan. Namun demikian, Amr bin Ash langsung mengukuhkan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah yang sah.
Semenjak peristiwa tersebut, terjadi perpecahan di kelompok Ali bin Abi Thalib. Sebagian dari mereka menyatakan keluar dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan dirinya sebagai kelompok khawarij (keluar) berjumlah sekitar 12.000 orang. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash (orang-orang yang terlibat dalam perundingan) adalah kafir. Pada tahun 38 H/659 M, Ali mengajak mereka berdialog, tetapi gagal karena mereka tetap pada pendirian bahwa menerima tahkim adalah kafir. Setahun kemudian, Ali berhasil memerangi kaum khawarij, tetapi beberapa orang yang melarikan diri bersepakat untuk membunuh ketiga tokoh yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut. Pada tahun 39 H/660 M terjadi perdamaian antara Muawiyah dan Khalifah Ali dengan syarat Ali tidak mencampuri Wilayah Syam. Pada 16 Ramadan tahun 40 H/661 M sebelum fajar, dua orang khawarij mengikuti Ali dari belakang. Ketika Ali sampai di depan pintu masjid agung Kufah, keduanya membunuh Ali. Nama pembunuh Ali bin Abi Thalib adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Kaum Muslimin langsung mengepung dan menangkap kedua pembunuh tersebut. Mereka bertanya kepada Ali, “Apa yang harus kami perbuat terhadap mereka berdua?” Ali menjawab, “Jika aku bertahan hidup, aku mempunyai perhitungan tersendiri, jika aku mati, aku menyerahkan kepada kalian. Jika kalian membalas dendam, balaslah satu pukulan dengan satu pukulan serupa, tetapi jika kalian memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada ketakwaan.”
Pada tanggal 19 Ramadan 40 H, Ali bin Abi Thalib menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelum meninggal, Ali bin Abi Thalib berpesan, “Sepeninggalku, janganlah kalian memerangi kaum Khawarij. Sungguh orang yang mencari kebenaran tetapi terjabak dalam kekeliruan berbeda dengan orang yang menonjolkan kepalsuan dan terus mempertahankannya.” Kemudian, seiring dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, berakhirlah masa Khulafaurrasyidin. Terhitung mulai dari khalifah pertama sampai terakhir, hampir selama tiga puluh tahun lamanya. Dari semua itu, banyak hal yang bisa dipelajari dan diteladani, yang baik dijadikan sebagai bahan perbaikan karakter siswa agar kelak dapat berguna bagi nusa, bangsa dan agama.
Komentar
Posting Komentar